Jumat, 18 Juli 2014

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PUTUSAN HAKIM DALAM MENENTUKAN KADAR MUT"AH DAN NAFKAH IDDAH : STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Penelitian
Pada era globalisasi seperti sekarang ini banyak sekali permasalahan-permasalahan yang timbul, umumnya pada permasalahan perkawinan. Di Pengadilan Agama (PA) Semarang banyak pengajuan kasus perceraian khususnya dalam kasus penyelesaian nafkah iddah dan penentuan kadar mut’ah. Dimana norma-norma dan kaidah-kaidah yang ada dan mengatur masalah ini sudah dikesampingkan. Dan hukum-hukum yang mengatur hal ini, sepertinya sudah tidak diindahkan lagi. Walaupun ini hanya terjadi di kota-kota besar khususnya seperti yang terjadi di Bandung, Jakarta, dan daerah khusus kota Semarang.
Pada prinsipnya perkawinan itu bertujuan untuk selama hidup danuntuk mencapai kebahagiaan yang kekal (abadi) bagi suami istri yang bersangkutan. Sehingga Rasulullah melarang keras terjadinya perceraian antara suami istri, baik itu dilakukan atas inisiatif pihak laki-laki (suami) maupun pihak perempuan (istri). Karena semua bentuk perceraian itu akan berdampak buruk bagi masing-masing pihak. Suatu perceraian yang telah terjadi antara suami istri secara yuridis memang mereka itu masih mampunyai hak dan kewajiban antara keduanya, terutama pada saat si istri sedang menjalani masa iddah.
Iddah adalah waktu menunggu bagi mantan istri yang telah diceraikan oleh mantan suaminya, baik itu karena thalak atau diceraikannya. Ataupun karena suaminya meninggal dunia yang pada waktu tunggu itu mantan istri belum boleh melangsungkan pernikahan kembali dengan laki-laki lain.[1]
Pada saat iddah inilah antara kedua belah pihak yang telah mengadakan perceraian, masing-masing masih mempunyai hak dan kewajiban antara keduanya. Bila suami melalaikan kewajibannya maka akan timbul berbagai permasalahan, misalnya si anak putus sekolahnya, sehingga anak tersebut menjadi terlantar atau bahkan menjadi gelandangan. Sedangkan mantan istrinya sendiri tidak menutup kemungkinan akan terjerumus ke lembah hitam.
Mut’ah adalah "sejumlah harta yang wajib diserahkan suami kepada isterinya yang telah diceraikannya semasa hidupnya dengan cara talak atau cara yang semakna dengannya".[2]
Inilah fenomena-fenomena yang sering timbul dari perceraian yang mana suami tidak melaksanakan kewajibannya terhadap hak istri dan anak pada masa iddah. Setelah terjadi perceraian pada hakikatnya si suami harus memberikan minimal perumahan pada mantan istri dan anaknya. Berkenaan dengan itu kewajiban suami tersebut, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 81 ayat 1 yang berbunyi “Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau mantan istrinya yang masih dalam masa iddah”.[3]
Dari bunyi di atas sudah jelas bagi suami yang telah menceraikan istrinya wajib untuk menyediakan tempat tinggal, ataupun membolehkan istrinya untuk bertempat tinggal di rumahnya sampai batas masa iddah habis (berakhir).
Bila suami melalaikan kewajiban ini, maka istri dapat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama. Gugatan tersebut dapat diajukan bersama-sama sewaktu istri mengajukan berkas gugatan atau dapat pula gugatan tersebut diajukan di kemudian. Akan tetapi ada pula kewajiban tersebut tidak dapat dibebankan kepada mantan suami, misalnya pada waktu terjadi perceraian tersebut disebabkan istri murtad atau sebab-sebab lainnya yang menjadi sebab suami tidak wajib menunaikan hak istri dan bila telah adakemufakatan bersama atas putusan Pengadilan Agama tentang nafkah anak tersebut, maka dapat pula nafkah si anak ditanggung bersama antara keduanya (suami-istri).
Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan masalah nafkah iddah. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas para pencari keadilan yang selalu agresif mengajukan permasalahannya ke Pengadilan Agama. Bila tidak mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum sudah barang tentu pengajuan perkara haruslah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Berdasarkan alasan yang terurai di atas, maka penulis tertarik untuk membahas masalah dengan judul “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM TERHADAP PENENTUAN KADAR MUT’AH DAN NAFKAH IDDAH : Studi Kasus di Pengadilan Agama Semarang”.

B.  Perumusan Masalah
Rumusan masalah bertitik tolak dari latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang merupakan sentral pembahasan dalam proposal penelitian ini, yaitu :
1.    Bagaimana konsep penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah menurut hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia ?
2.    Apa yang menjadi faktor-faktor pertimbangan hakim Pengadilan Agama Semarang dalam mengabulkan permohonan penentuan kadar Mut’ah dan nafkah iddah ?
3.    Bagaimana kesesuaian putusan hakim Pengadilan Agama Semarang tentang penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah dengan hukum Islam ?

C.  Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penulisan dalam penelitian ini adalah :
1.    Untuk mengetahui konsep penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah menurut hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia.
2.    Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama Semarang dalam mengabulkan permohonan penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah.
3.    Untuk mengetahui kesesuaian putusan hakim Pengadilan Agama Semarang tentang penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah dengan hukum Islam.
Manfaat dari penulisan ini terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu :
1.    Manfaat Teoritis
Penulis berharap bahwa hasil penelitian akan berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta kajian di bidang ilmu hukum khususnya Hukum Perdata mengenai faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam menentukan kadar mut’ah dan nafkah iddah.
2.    Manfaat Praktis
a)    Bagi penulis agar dapat memahami lebih mendalam mengenai faktor yang menjadi pertimbangan hakim menentukan kadar mut’ah dan nafkah iddah dalam pelaksanaannya di Pengadilan Agama Semarang.
b)   Diharapkan dapat memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang mut’ah dan nafkah iddah.

D.  Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, Penulis membagi kedalam 5 bab dengan sub-sub bab yang disusun secara sistematis sebagai berikut :
Bab I            :    Pendahuluan
Bab ini berisi tentang gambaran umum latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat yang  ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini.
Bab II           :    Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi tentang pengertian mut’ah,mut’ah dilihat dari segi jenis talak dan segi jumlahnya, pengertian nafkah iddah, serta landasan pemikiran yang menjadi dasar penulisan skirpsi.
Bab III         :    Metode Penelitian
Bab ini berisi tentang metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode penentuan sampel, metode pengumpulan data, serta metode analisis data tentang pelaksanaan penelitian itu sendiri.
Bab IV         :    Hasil dan Pembahasan Penelitian 
Bab ini berisi tentang deskripsi objek penelitian, analisis data dan pembahasan.  Dalam bagian ini akan berisi tentang konsep penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah menurut hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama Semarang dalam mengabulkan permohonan penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah, serta kesesuaian putusan hakim Pengadilan Agama Semarang tentang penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddan dengan hukum Islam.
Bab V           :    Penutup   
Berisi kesimpulan yang didasarkan pada pembahasan bab hasil penelitian dan juga berisi tentang saran sebagai solusi terhadap permasalahan yang dihadapi.  

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Mut’ah
Mut’ah (المتعة) secara bahasa artinya adalah kesenangan, sedangkan menurut istilah yaitu sesuatu yang diberikan kepada istri yang dicerai sebagai penghibur.[4] Pendapat lain dikatakan bahwa mut’ah adalah suatu pemberian oleh suami kepada istri yang dicerainya (cerai talak) agar hati istri dapat terhibur. Pemberian itu dapat berupa uang, barang, pakaian, atau perhiasan menurut keadaan dan kemampuan suami.[5]
Abu Hanifah berpendapat bahwa mut’ah diwajibkan untuk setiap wanita yang dicerai sebelum digauli, Abu Hanifah beralasan dengan firman Allah :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.” (Al-Ahzab: 49).

Segolongan fuqaha berpendapat bahwa mut’ah hanya disunnahkan, tidak diwajibkan, hal ini diperkuat oleh Imam Maliki yang berpendapat bahwa perintah memberikan mut’ah itu sunnah.[6] Malik beralasan dengan firman Allah pada akhir ayat 236 surat Al-Baqarah :
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”.[7]

Imam Syafi’i berpendapat bahwa mut’ah diwajibkan untuk setiap istri yang dicerai manakala pemutusan perkawinan datang dari pihak suami, kecuali istri yang telah ditentukan maskawin untuknya dan dicerai sebelum digauli.
Dalam qaul qadim, Imam Syafi’i berpendapat bahwa suami tidak wajib memberikan mut’ah kepada isteri yang dicerainya, karena isteri telah mendapat mahar. Sedangkan dalam qaul jadid, Imam Syafi’i berpendapat bahwa suami wajib memberikan mut’ah kepada isteri yang dicerai, karena Allah berfirman :
 “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka Marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.” (QS. al-Ahzab: 28).
Dalam qaul qadim  tersebut, Imam Syafi’i menggunakan logika sebagai argumennya, sedangkan dalam qaul jadid, beliau menggunakan al-Qur’an sebagai argumennya, yaitu QS. al-Ahzab: 28.[8]
Fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa mut’ah wajib untuk setiap istri yang dicerai. Sesuai dengan firman Allah surat al-Baqarah: 241, yang berbunyi:
 “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”.[9]
Mut’ah dapat dilihat dari segi jenis talaknya dan segi jumlahnya dengan penjelasan sebagai berikut :
1.  Dari segi jenis talak
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa mut'ah itu wajib hukumnya untuk semua isteri yang ditalak, tanpa mempertimbangkan jenis maharnya dan perceraiannya.
Syafi’i mengartikan perintah mut’ah kepada keumuman orang perempuan yang ditalak, kecuali orang perempuan yang telah ditetapkan maharnya dan diceraikan sebelum digauli.[10]
Sedangkan fuqaha Zhahiri mengartikan perintah memberikan mut’ah itu kepada keumumannya. Memberi mut'ah itu hukumnya wajib, baik yang terjadi itu adalah talak raj'iy, talak bâ`in maupun karena kematian salah satunya, sebelum dukhul atau setelahnya, pernah disebutkan secara jelas sebelumnya atau tidak.[11]
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang perempuan yang memperoleh khulu’ tidak memperoleh mut’ah, karena kedudukannya sebagai pihak yang memberi, seperti halnya wanita yang ditalak sebelum digauli sesudah ada penentuan mahar.[12]
Dijelaskan kembali dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 236 bahwasanya, bagi perempuan yang dicerai sebelum dicampuri, atau sebelum ditentukan maharnya, hendaklah para suami mereka memberikan mut’ah kepada mereka sesuai dengan kemampuannya. Kemudian, dijelaskan lagi dalam ayat 241 bahwasanya, bagi wanita-wanita yang dicerai, hendaklah suaminya memberikan mut’ah. Dalam ayat ini tidak dijelaskan secara khusus mengenai isteri-isteri yang bagaimana yang akan diberi mut’ah oleh suaminya, artinya ayat ini menyebutkan bahwa semua wanita yang dicerai diberikan mut’ah oleh suaminya. Dalam Shofwat at-Tafaasir  dijelaskan bahwa dalam ayat ini suami wajib memberikan mut’ah  kepada isterinya sesuai kadar kemampuannya, hal ini merupakan kewajiban bagi orang-orang mukmin yang bertaqwa kepada Allah.[13]
Dari kedua ayat ini muncullah perbedaan dikalangan para ulama’, sebagian berpendapat bahwa yang dibayar mut’ahnya hanya isteri yang belum dicampuri saja, sedangkan isteri yang sudah dicampuri, apalagi sudah dibayar maharnya, maka hukumnya hanya sunnah saja.[14] Namun dalam surat al-Ahzab ayat 28, dijelaskan tentang kisah Rasulullah yang diperintah untuk menyampaikan kepada isteri-isterinya, bahwa mereka disuruh untuk memilih  apakah mereka menginginkan dunia dengan segala kemewahannya atau mengikuti Rasulullah dengan hidup apa adanya. Kalau mereka memilih bercerai, maka Rasulullah akan menceraikan mereka dan akan diberi mut’ah sebagai pengobat hati.
2.  Dari Segi Jumlahnya
Sementara tentang jumlah mut'ah yang harus diberikan itu, dijelaskan dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 236 (di atas). Ayat tersebut tidak menyebutkan batasan maksimal dan minimal mut'ah yang harus diberikan suami kepada isterinya. Sepertinya ayat ini memberikan hak sepenuhnya kepada suami dalam menentukan jumlah pemberian itu. Satu-satunya syarat yang diberikan ayat ini adalah "kepatutan". Hal itu terlihat dari pernyataan yang menyebutkan bahwa "Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut". Dengan pernyatan seperti ini, maka ada tiga unsur kepatutan yang mesti diperhatikan dalam pemberian mut'ah. Pertama, kepatutan atau kepantasan berdasarkan kemampuan si suami, dan itu didasarkan pada ayat di atas. Artinya, suami yang kaya tidak pantas memberikan mut'ah yang sama jumlahnya dengan suami yang termasuk golongan miskin, dan sebaliknya. Kedua, patut atau pantas bagi si isteri. Artinya, isteri yang terbiasa dengan pola hidup "cukup" atau (apalagi) "mewah" dengan suami itu atau keluarganya sebelumnya, tidak pantas kalau mendapat mut'ah yang jumlahnya "sedikit". Sebabnya, seperti dikatakan al-Kasaniy,  karena mut'ah itu sendiri adalah sebagai ganti dari "kemaluannya".
Oleh karena itu, keadaan si isteri lah yang jadi pedoman dalam penentuan mut'ah itu. Ketiga, patut atau pantas menurut adat yang berlaku di lingkungan tempat mereka hidup. Hal ini perlu mendapatkan perhatian, setidaknya, untuk menghindari terjadinya kesenjangan sosial antara si isteri yang diberi mut'ah dengan orang-orang yang berada di sekitarnya.[15]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 160 dijelaskan bahwa jumlah mu’tah yang diberikan kepada seorang istri oleh si suami didasarkan kepada kepatutan dan kemampuan si suami. Maka karena itu, keadaan ekonomi dan sosial suami amat menentukan terhadap besarnya mut’ah.

B.  Nafkah Iddah
Menurut historis iddah telah dikenal sejak zaman dahulu. Orang-orang Arab tidak pernah meninggalkan iddah bagi istri-istri mereka yang telah diceraikan dan ini telah menjadi kebiasaan. Para ulama telah sepakat iddah itu hukumnya wajib bagi istri yang telah diceraikan.
Iddah ialah masa tunggu atau tenggang waktu sesuai dengan jatuhnya thalak dari suami, dimana pada masa iddah ini suami boleh untuk merujuk kepada istrinya. Sehingga pada masa iddah ini si istri belum boleh untuk melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain.
Pada masa iddah ini sebenarnya untuk meyakinkan kekosongan rahim si istri agar terhindar dari percampuran atau kekacauan nasab bagi anak yang dikandung. Disamping itu untuk memikir kembali atau jalan yang mereka tempuh, apakah untuk merujuk kembali atau tetap meneruskan perceraian yang telah terjadi. Bagi istri yang telah diceraikan oleh suaminya, baik istri tersebut dicerai hidup dari pihak si suami ataukah si istri tersebut sedang mengandung atau tidak. Maka si istri tersebut wajib untuk menjalani masa iddah sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 153 ayat (1) yang berbunyi :
“Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla dukhul dan perkawinan putus bukan karena kematian suami”.[16]
Dari bunyi pasal tersebut di atas dapat dipahami bahwa setiap istriyang diceraikan suaminya diharuskan untuk menjalani masa iddah, yang lama waktunya ditetapkan menurut keadaan istri yang diceraikan atau suami yang menceraikannya, yakni apakah perceraian itu terjadi karena cerai proses pengadilan atau cerai karena kematian. Setelah terjadinya perceraian berdasarkan hukum perdata maupun hukum syara’ si suami dibebankan untuk memberikan perumahan kepada pihak mantan istri. Dan apabila si suami tidak memberikannya, baik itu perumahan ataupun nafkah kehidupan (uang belanja) maka si istri dapat mengajukan masalah tersebut kepada pengadilan agama.Mengajukan tuntutan perumahan ataupun biaya nafkah dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai dan dapat pula diajukan kemudian.
Kewajiban suami terhadap istri tersebut diatur dalam Undang-undang No. 1 1974 Pasal 41 (c), yang berbunyi : “Pengadilan Agama dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya kehidupan dan atau untuk menentukan suatu kewajiban bagi mantan suami”.[17]
Suatu yang telah diputuskan di Pengadilan Agama haruslah dipatuhi dan dijalankan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, bila tidak dijalankan maka Pengadilan Agama dapat menjatuhkan eksekusi kepada pihak tersebut.
Inipun apabila pihak dirugikan mengadu kepada Pengadilan Agama yakni tentang putusan yang dilalaikan oleh pihak lain. Dalam mengeksekusi pihak yang melalaikan putusan majlis hakim tersebut, Pengadilan Agama dapat menarik atau meminta bantuan kepada pihak kepolisian.
Perceraian yang terjadi karena si istri murtad atau melanggar syara’ lainnya, maka si istri tersebut tidak mempunyai hak untuk menuntut perumahan dan biaya nafkah. Ini berakibat si suami mempunyai kewajiban untuk memberi perumahan ataupun nafkah belanja. Akan tetapi adapun si istri mempunyai hak namun si suami tidak wajib menunaikannya. Ini hanya berlaku pada perceraian yang terjadi karena mati atau setelah bercerai si suami meninggal dunia. Menurut Azhar Basyir, suatu perceraian yang terjadi karena kematian suaminya baik itu perceraian yang terjadi, kemudian si suami meninggal dunia maka bekas istrinya tidaklah dapat menuntut hak kepada orang yang telah meninggal dunia. Tetapi nafkah dapat diambil dengan menyisihkan sebagian harta peninggalan si suami yang meninggal tersebut.[18]
Jadi istri (perempuan) yang ditinggal mati suaminya itu tidak sepenuhnya dia mendapat nafkah namun bila bekas suami tersebut meninggalkan harta yang cukup, maka sesudah dibaginya harta si istri dan mendapatkan dispensasi dalam mendapatkan bagiannya.
M. Tholib dalam masalah hak istri pada masa iddah itu menjelaskan bahwa perempuan beriddah mendapatkan hak kediaman (perumahan), dan ia haruslah tetap tinggal, di rumah suaminya habis masa iddahnya. Dan suami tidak berhak menyuruh istrinya keluar rumah tersebut, sekalipun telah jatuh talak atau perpisahan ketika tidak di rumah suami, maka istri tetaplah wajib untuk pulang ke rumah suaminya itu begitu ia mengetahui bahwa telah jatuh talak tersebut.[19]
Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa istri yang telah ditalak suaminya walaupun waktu tidak ada di rumah kediaman suami tersebut, maka istri tersebut tetap wajib untuk kembali dan tinggal di rumah tersebut, suamipun tidaklah berhak untuk melarang dan mengusir istri tersebut dengan alasan apapun, karena merupakan salah satu hak istri terhadap suami dimana si suami haruslah menunaikannya.
Dalam tunjangan ini apabila tidak memuaskan dapat mengajukan kembali permohonan supaya penetapan ini hakim ditinjau kembali. Ada kalanya jumlah tunjangan itu ditetapkan oleh kedua belah pihak atas dasar mufakat, namun ada juga jumlah tunjangan itu ditetapkan oleh hakim dengan pertimbangan dan keadaan suami.

C.  Landasan Pemikiran
Beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai landasan pemikiran dan sebagai alat analisisnya :
1.    Hukum Islam
Hukum Islam merupakan keseluruhan ketentuan perintah Allah SWT yang wajib ditaati oleh seorang muslim agar manusia tertib, aman, dan selamat.[20]
Yang menjadi sumber dari Hukum Islam adalah :
a)    Al-Qur’an : Kumpulan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada utusan-Nya, Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril a.s. yang berfungsi sebagai petunjuk bagi orang-orang beriman dalam mengarungi bahtera kehidupan.
b)   Sunah Rasulullah SAW : “Semua perkataan, perbuatan, dan pengakuan Nabi Muhammad SAW yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri”.[21]Hadits merupakan bagian dari sunnah yaitu sunnah qauliyah (perkataan Rasulullah SAW tentang sesuatu perbuatan atau hal).
c)    Akal : melalui akal sehatnya orang beriman berupaya memikirkan dan menentukan hukum dari suatu perkara yang tidak ditemui dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW karena sifat kekinian perkara tersebut. Upaya tersebut dilakukan dengan jalan ra’yu atau berijtihad. Ra’yu adalah pendapat dan pertimbangan seseorang yang memiliki persepsi mental dan pertimbangan seseorang yang memiliki persepsi mental dan pertimbangan yang bijaksana.[22] Sedangkan istilah ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan segala kemampuan yang ada yang dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk mendapatkan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al’Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.[23]
2.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 41 :
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a)    Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b)   Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c)    Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
3.    Kompilasi Hukum Islam
Pasal 158:
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a)    Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhul
b)   Perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159:
Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada Pasal 158.
Pasal 160 :
Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.

BAB III
METODE PENELITIAN

A.  Metode Pendekatan
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, mengingat permasalahan yang diteliti dan dikaji berpegang pada aspek yuridis yaitu berdasakan pada norma-norma, peraturan-peraturan, perundang-undangan, teori-teori hukum dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka.[24]
Pada penelitian hukum normatif, hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.[25]
Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian normatif karena dengan meneliti bahan pustaka terhadap data sekunder yang bersumber pada bahan kepustakaan. Bahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah putusan-putusan lembaga peradilan dalam hal penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah akibat perceraian dalam hal ini penerapannya pada Pengadilan Agama Semarang.
B.  Spesifikasi Penelitian
Untuk mendekati pokok permasalahan penelitian, digunakan penelitian deskriptif analitis yaitu melukiskan keadaan masalahnya tanpa maksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum. Berdasarkan Undang-Undang, norma-norma hukum positif, dan doktrin-doktrin hukum. Sedangkan analisisnya yaitu menganalisa faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan penentuan mut’ah dan nafkah iddah. 
C.  Metode Penentuan Sampel
Metode penentuan sampel yang digunakan adalah metode nonrandom sampling dengan memakai purposive sampling yaitu teknik pengumpulan data yang pengambilan subjeknya didasarkan pada tujuan tertentu terlebih dahulu berdasarkan objek yang diteliti.
Adapun yang menjadi objek penelitian dalam pengambilan sampel dengan metode purpose sampling ini mengenai putusan Pengadilan Agama tentang penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Nomor 2141/Pdt.G/2013/PA.Smg, sehubungan dengan itu respondennya adalah Hakim Pengadilan Agama Semarang.
D.  Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan cara memperoleh data secara tidak langsung dari objek penelitian yaitu dalam bentuk mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, serta bahan-bahan hukum lain yang erat kaitannya dengan pembahasan Hukum Islam yang menelaah tentang penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah, meliputi :
1.    Bahan Hukum Primer :
a)    Al’Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW,
b)   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
c)    Kompilasi Hukum Islam.
2.    Bahan Hukum Sekunder :
Bahan hukum sekunder diambil dari literatur-literatur, buku-buku, dan artikel-artikel elektronik di internet serta bahan-bahan hukum lain yang berkaitan dengan permasalahan penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah.
3.    Bahan Hukum Tersier :
Bahan hukum yang memberikan petunjuk atas bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan sebagainya.
Selain studi kepustakaan Penulis juga mewawancarai responden guna melengkapi studi kepustakaan yang Penulis gunakan.
  
E.  Metode Analisis Data
Data tersebut akan dianalisis secara normatif kualitatif. Normatif karena peneliti bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai norma hukum positif sedangkan kualitatif dimaksudkan yaitu daripada data yang telah terkumpul akan dikelompokkan sesuai dengan permasalahan. Kemudian diolah dan dijelaskan sesuai dengan kenyataan serta teori-teori yang relevan dengan ilmu hukum sehingga dapat ditarik kesimpulan.


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.  Konsep Penentuan Kadar Mut’ah dan Nafkah Iddah Menurut Hukum Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia
Syariat Islam menyerahkan penentuan kadar nafkah mut’ah kepada kebiasaan masyarakat dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi suami. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT :

 Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-Baqarah : 236).[26]

Dan firman-Nya,
 “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” (Al-Baqarah : 241).[27]
Dalam Undang-undang Perkawinan Mesir Nomor 25 Tahun 1929 Pasal 18 yang direvisi melalui Undang-undang Nomor 100 Tahun 1985 disebutkan bahwa: “Seorang istri yang telah digauli dalam pernikahan yang sah, jika dicerai oleh suaminya tanpa adanya kerelaan dan sebab dari sang istri, maka dia berhak mendapatkan nafkah mut’ah di samping nafkah selama masa iddahnya. Kadar nafkah mut’ah ini paling sedikit disamakan dengan nafkah selama dua tahun dan disesuaikan dengan keadaan ekonomi suami, sebab-sebab perceraian dan lamanya masa perkawinan. Suami dalam memenuhi kewajiban mut’ah ini boleh membayarnya secara mencicil. Dengan demikian, kadar nafkah mut’ah ini ditentukan oleh pengadilan berdasarkan pertimbangan kondisi permasalahan. Kecuali jika si istri ketika dicerai qabla dukhul maka tidak ada kewajiban bagi suami memberikan nafkah mut’ah.[28]
Dari keterangan di atas dapat di ambil kesimpulan jika seorang suami wajib memberikan mut’ah bagi istrinya yang diceraikan, walaupun istri itu seorang wanita karir. Karena dari keterangan ayat al-Quran surat al-Baqarah tidak di batasi oleh kadar kekayaan si istri.
Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil adalah wajib.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 4 (sub c) yang berbunyi : 
“Pengadilan Agama dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi istri”.
Hal ini juga dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 81 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :
1.    Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak-anaknya atau  bekas istrinya yang masih dalam iddah. 
2.    Tempat kediaman adalah tempat tinggal.
Para fuqaha telah sepakat bahwa perempuan yang  berada dalam masa iddah talak raj’i masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. Begitu juga halnya perempuan yang hamil, berdasarkan firman Allah swt berkenaan istri tang ditalak raj’i dan istri yang ditalak dalam keadaan hamil:
 Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,....”(QS at-Talak : 6)[29]

Bagi fuqaha yang menetapkan tempat tinggal tanpa nafkah bagi istri yang ditalaq ba’in dan tidak hamil, mereka beralasan dengan  hadits yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam al-Muwatta’ dari hadits Fatimah yang artinya :
 Maka bersabda Rasulullah saw. Tidak ada untukmu atasnya tanggungan nafkah”.
Dalam riwayat tersebut tidak disebutkan adanya pengahpusan tempat tinggal. Itulah sebabnya fuqaha tersebut tetap berpegang teguh keumuman firman Allah QS at-Talaq ayat 6 yang artinya “ tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu..”
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern tidaklah dapat mengubah ketentuan dalam kasus-kasus yang sudah jelas dikemukakan dan ditetapkan oleh Al Qur'an dan as sunnah. Namun hanya dalam kasus wathi syubhat dan zina perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dimanfaatkan, sebab hukum antara pria dan wanita dalam kasus ini hanya terkait pada masalah dhuhul yang menggunakan kesucian rahim.
Meskipun terdapat keyakinan bahwa rahim perempuan (istri) bersih dan diantara mereka (suami istri) tidak mungkin rujuk kembali, namun tidaklah dapat dibenarkan bagiperempuan tersebut (bekas istri) melanggar ketentuan iddah yang sudah ditentukan.
Begitu pula sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan untuk memperpanjang iddah bagi istri yang dapat mengakibatkan penganiayaan maupun yang mendatangkan keuntungan baik bagi bekas suami ataupun bagi bekas istri.
Hak Istri pada Masa Iddah adalah :
1.  Mendapatkan nafkah selama masa iddah ;
2.  Mendapatkan perumahan selama masa iddah ;
3.  Istri berhak memutuskan untuk rujuk kembali.
Kewajiban suami pada masa iddah istri adalah sebagai berikut :
1.  Suami wajib memberikan nafkah pada istri ;
2.  Suami wajib memberikan perumahan pada istri ;
3.  Suami berhak untuk merujuk kembali atau tidak.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4 huruf (c) yang berbunyi : “Pengadilan Agama dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi istri”. Hal ini juga dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 81 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :
1.  Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istrinya yang masih dalam iddah.
2.  Tempat kediaman adalah tempat tinggal.
Berdasar pada pasal di atas dan dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam menunjukkan bahwa perumahan masuk ke dalam kategori dari bunyi pasal dan hukum di atas untuk mewajibkan suami menyediakan tempat kediaman bagi istri selama masa iddah atau tempat kediaman bagi istri dapat dialih artikan suami memberikan rumah yang lain untuk ditempati istri baik selama pada masa iddah ataupun setelahnya. Akan tetapi bila istri itu sendiri yang meninggalkan rumah yang telah ditetapkan tanpa alasan yang dipertanggung jawabkan, maka istri tersebut telah dianggap nusyuz. Adapun kewajiban lainnya bagi suami adalah memberikan biaya nafkah selama masa iddah, sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 149 huruf (a) dan (b) yang berbunyi antara lain :
Bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
a.  Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla dukhul.
b.  Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.[30]

Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim yang bernama Bapak Nasikun, nafkah iddah dan mut’ah itu tidak tergantung pada pihak istri itu sendiri. Adapun suami sendiri yang dengan suka rela tanpa dituntut dulu oleh istri di Pengadilan Agama memenuhi kewajiban suami yang pada masa iddah. Apabila istri berkeinginan menuntut nafkah iddah, maka dapat dilaksanakan berdasarkan pada Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi : “Gugatan soal pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dalam gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Nafkah iddah merupakan hak istri pada masa iddah dan mut’ah merupakan hak istri sebagai biaya hiburan setelah diceraikan oleh suami serta kewajiban suami pula untuk melaksanakannya. Mengenai jumlah nafkah iddah dan mut’ah bagi istri tersebut sangat relatif. Bila terjadi perselisihan mengenai jumlah, dapat dianjurkan dan diberikan pengarahan oleh Pengadilan Agama untuk diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan. Akan tetapi bila tidak terjadi kesepakatan dalam penentuan jumlah maka pengadilan agama dapat menentukan jumlahnya yang disesuaikan dengan kemampuan suami dan tidak memberatkannya, dan sebaliknya diberikan pada saat setelah pembacaan sighot thalak di muka majelis hakim Pengadilan Agama.
Suami dapat untuk tidak melaksanakannya disebabkan si istri melalaikan kewajibannya, atau sebab yang lainnya yaitu istri mengikhlaskan suami untuk tidak melaksanakan kewajibannya. Ini sesuai dengan Pasal 80 ayat (4) dan (7) Kompilasi Hukum Islam.
Dari bunyi pasal tersebut di atas tampak jelas suami dapat tidak melaksanakan kewajiban yaitu :
1.  Apabila si istri benar-benar telah mengikhlaskannya ;
2.  Apabila si istri dalam keadaan nusyuz, maka akibat hukumnya hak istri pada masa iddah gugur dengan sendirinya baik perkara tersebut dalam proses pengadilan ataupun tidak.

B.    Faktor-Faktor yang Menjadi Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Semarang dalam Mengabulkan Permohonan Penentuan Kadar Mut’ah dan Nafkah Iddah
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Semarang yang bernama Bapak Nasikun, yang menjadi faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan penentuan kadar mut’ah adalah sebagai berikut :
1.  Penghasilan suami per bulan
Dalam hal menetapkan kadar mut’ah seharusnya hakim menyesuaikan dengan penghasilan suami per bulannya. Jadi hakim tidak serta merta menentukan kadar mut’ah sesuai dengan tuntutan pihak istri.
2.  Lamanya usia perkawinan
Hal ini juga menjadi acuan hakim dalam menentukan kadar mut’ah. Semakin lama usia perkawinan pasangan suami istri maka besar kemungkinan akan semakin besar pula kadar mut’ah yang wajib diberikan suami kepada mantan istrinya.  
3.  Kesepakatan kedua belah pihak
Apabila sudah tercapai kesepakatan diantara kedua belah pihak, maka hakim harus memutuskan besar kadar mut’ah sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak tersebut.[31]
Demikian juga dengan penentuan kadar nafkah iddah di Pengadilan Agama Semarang. Hakim Pengadilan Agama Semarang Bapak Nasikun, faktor penentuan kadar nafkah iddah tidak jauh berbeda dengan penentuan mut’ah, hanya saja kadar nafkah iddah tidak melihat lamanya usia perkawinan. Namun penentuan kadar nafkah iddah harus disesuaikan dengan keadaan ekonomi warga yang tinggal di sekitar kediaman mantan istri. Maksudnya apabila mantan istri tinggal di lingkungan yang keadaan ekonominya rata-rata Rp. 1.000.000,- per bulan, maka tidak pantas bila mantan suami hanya memberikan nafkah iddah selama 3 bulan kepada mantan istri hanya sebesar Rp. 500.000,-. Namun itu semua tetap disesuaikan dengan pendapatan mantan suami per bulannya.[32]
C.     Kesesuaian Penerapan Putusan Hakim Pengadilan Agama Semarang terhadap Penentuan Kadar Mut’ah dan Nafkah Iddah dengan Hukum Islam
1.  Wewenang Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan Kewajiban Nafkah Iddah dan Mut’ah kepada Suami Istri yang Telah Bercerai
Pengadilan Agama merupakan suatu badan peradilan yang turut melaksanakan kekuasaan hakim dan memegang peranan penting di dalam melaksanakan Undang-undang perkawinan. Keberadaan lembaga Pengadilan Agama di Indonesia merupakan wadah untuk menyelesaikan perkara umat Islam, dimana kewenangan dan ruang lingkup Pengadilan Agama mengalami pasang surut. Setelah Indonesia merdeka, perkembangan tata hukum pengadilan agama sangat pesat. Hal ini ditandai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana dengan peraturan perundang-undangan semakin mempertegas ruang lingkup dan eksistensi kekuasaan wewenang pengadilan agama dalam menegakkan lembaga kehakiman. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain :
1.  Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ;
2.  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ;
3.  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung ;
4.  Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama ;
5.  Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam.
Dengan adanya perundang-undangan di atas maka nampak jelas kemajuan dan perkembangan Peradilan Agama. Dimana peraturan yang menjadi dasar hukum Pengadilan Agama merupakan wujud nyata bahwa kedudukan Pengadilan Agama sekarang telah dipertegas dengan perundang-undangan, seperti dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : “Kekuasaan kehakiman dilakukan pengadilan dalam lingkungan : a. Pengadilan Umum b. Pengadilan Agama c. Pengadilan Militer d. Pengadilan Tata Usaha Negara”.
Dari bunyi pasal tersebut, nampak jelas telah adanya klasifikasi lembaga peradilan dan ruang lingkup masing-masing yang berarti menunjukkan kemajuan dalam Tata Hukum Indonesia. Akan tetapi bila ditilik sampai seberapa jauh ruang lingkup kewenangan mengadili dalam lingkungan Pengadilan Agama maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kewenangan Pengadilan Agama hanya meliputi perkara-perkara tertentu saja, ini berarti klasifikasi ruang lingkup Pengadilan Agama yang ada belum sempurna.
Berdasarkan penjelasan dalam pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, maka akan dapat berakibat kesalah pahaman dan kesimpang siuran dalam menentukan batasan-batasan kompetensi absolut dari pada lembaga pengadilan. Mengenai kewenangan Pengadilan Agama dan ruang lingkup dalam hubungan dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf (a), isinya antara lain :
Yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain :
1.    Izin beristri lebih dari seorang ;
2.    Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalamhal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat ;
3.    Dispensasi kawin ;
4.    Pencegahan perkawinan ;
5.    Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah ;
6.    Pembatalan perkawinan ;
7.    Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri ;
8.    Perceraian karena talak ;
9.    Gugatan perceraian ;
10.  Penyelesaian harta bersama ;
11.  Penguasaan anak-anak ;
12.  Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya ;
13.  Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri ;
14.  Putusan tentang sah tidaknya seorang anak ;
15.  Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua ;
16.  Pencabutan kekuasaan wali ;
17.  Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut ;
18.  Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cult up umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya ;
19.  Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya ;
20.  Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam ;
21.  Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran ;
22.  Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.[33]

Oleh karena Nafkah Iddah dan Mut’ah merupakan akibat dari perceraian maka hal tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus perkara tersebut.       
2.  Produk Hukum Pengadilan Agama
a)  Putusan
Putusan disebut Vonnis (Belanda) atau al qada’u (Arab), yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu Penggugat dan Tergugat. Produk pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan produk peradilan yang sesungguhnya atau “jurisdictio cententiosa”.
Putusan Peradilan Perdata (Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata) selalu memuat perintah dari Pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu, atau untuk melepaskan sesuatu, atau menghukum sesuatu. Jadi diktum vonis selalu bersifat condemnatoir artinya menghukum, atau bersifat constitutoir artinya menciptakan.
Perintah dari Pengadilan ini jika tidak dilaksanakan dengan sukarela, dapat diperintahkan untuk dilaksanakan secara paksa yang disebut dengan eksekusi.
Putusan Pengadilan mempunyai 3 kekuatan, yaitu : 1) kekuatan mengikat (bindende kracht), 2) kekuatan bukti (bewijzende kracht), dan 3) kekuatan eksekusi (executoriale kracht).
Suatu putusan mempunyai kekuatan mengikat dan mempunyai kekuatan bukti ialah setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht). Suatu verzet, banding, kasasi tidak dipergunakan dan tenggang waktu untuk itu sudah habis, atau telah mempergunakan upaya hukum tersebut dan sudah selesai. Upaya hukum terhadap putusan yang telah in kracht tidak ada lagi, kecuali permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tetapi hanya dengan alasan-alasan sangan tertentu sekali.
Putusan yang sudah in kracht sekalipun ada dimohonkan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, tidak terhalang untuk dieksekusi, itulah yang dikatakan mempunyai kekuatan eksekusi.
Suatu putusan dikatakan mempunyai bukti misalnya putusan cerai. Ia merupakan bukti otentik terjadinya cerai.
b)  Penetapan
Penetapan disebut al Isbat (Arab) atau beschiking (belanda), yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdictio voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan sesuatu, sedangkan ia tidak berperkara dengan lawan.
Karena penetapan itu muncul sebagai produk Pengadilan atas permohoan yang tidak berlawan maka diktum penetapan tidak akan pernah berbunyi menghukum melainkan hanya bersifat menyatakan (declaratoire) atau menciptakan (constitutoire).
Putusan mempunyai 3 kekuatan dan berlaku untuk pihak-pihak maupun untuk dunia luar (pihak ke tiga) tetapi penetapan hanya berlaku untuk pemohon sendiri, untuk ahli warisnya dan untuk orang yang memperoleh hak daripadanya.
Contoh penetapan seperti pengesahan nikah bagi keperluan pensiun Pegawai Negeri Sipil dari suami-istri yang tidak ada sengketa antara keduanya, tetapi dulu-dulunya mereka menikah di bawah tangan sehingga tidak mempunyai akta nikah.
3.  Asas Putusan Hakim
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 178 H.I.R, Pasal 189 R.Bg. dan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka wajib bagi hakim sebagai aparatur Negara yang diberi tugas untuk itu, untuk selalu memegang teguh asas-asas yang telah digariskan oleh undang-undang, agar keputusan yang dibuat tidak terdapat cacat hukum, yakni :
a)  Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Menurut asas ini setiap putusan yang jatuhkan oleh hakim harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup, memuat dasar dasar putusan, serta menampilkan pasal pasal dalam peraturan undang-undang tertentu yang berhubungan dengan perkara yang diputus, serta berdasarkan sumber hukum lainnya, baik berupa yurisprudensi, hukum kebiasaan atau hukum adat baik tertulis maupun tidak tertulis, sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 25 ayat (1). Bahkan menurut Pasal 178 ayat (1) hakim wajb mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara.
b)  Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (2) H.I.R., Pasal 189 ayat (2) R.Bg. dan Pasal 50 Rv. Yakni, Hakim dalam setiap keputusannya harus secara menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi tuntutan dan mengabaikan gugatan selebihnya. Hakim tidak boleh hanya memeriksa sebagian saja dari tuntutan yang diajukan oleh penggugat.
c)  Tidak boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Menurut asas ini hakim tidak boleh memutus melebihi gugatan yang diajukan (ultra petitum partium). Sehingga menurut asas ini hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugat dianggap telah melampaui batas kewenangan atau ultra vires harus dinyatakan cacat atau invalid, meskipun hal itu dilakukan dengan itikad baik. Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (3) H.I.R., Pasal 189 ayat (3) R.Bg. dan Pasal 50 Rv.

d) Diucapkan di Muka Umum
Prinsip putusan diucapkan dalam sidang terbuka ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 20. Hal ini tidak terkecuali terhadap pemeriksaan yang dilakukan dalam sidang tertutup, khususnya dalam bidang hukum keluarga, misalnya perkara perceraian, sebab meskipun perundangan membenarkan perkara perceraian diperiksa dengan cara tertutup. Namun dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Tahun 1975 menegaskan bahwa putusan gugatan perceraian harus tetap diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Sehingga prinsip keterbukaan ini bersifat memaksa (imperative), tidak dapat dikesampingkan, pelanggaran terhadap prinsip ini dapat mengakibatkan putusan menjadi cacat hukum.
4.  Penerapan Putusan Hakim Pengadilan Agama Semarang terhadap PenentuanKadar Mut’ah dan Nafkah Iddah
Dalam hal ini Penulis membandingkan kesesuaian antara Putusan Hakim Pengadilan Agama Semarang Nomor 2141/Pdt.G/2013/PA.Smg dengan Hukum Islam.
Di dalam Perkara Cerai Talak Nomor 2141/Pdt.G/2013/PA.Smg pihak Termohon di sini mantan istri mengajukan rekonvensi terkait dengan tuntutan nafkah mut’ah dan nafkah iddah untuk Termohon. Selain itu Termohon juga menuntut janji mantan suami sebelum menikah yang akan menaikkan haji plus serta umroh Termohon, namun setelah menikah pihak Pemohon tidak melaksanakannya.
Pihak Pemohon yang notabene seorang dokter secara lesan di depan persidangan membantah isi dari rekonvensi pihak Termohon, namun Pemohon sanggup memberi kepada pihak Termohon berupa :
1)  Untuk ganti umroh berupa uang sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).
2)  Untuk Mut’ah terserah Majelis Hakim.
3)  Untuk nafkah iddah selama 3 bulan sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).
Pemohon kemudian menyampaikan kesimpulan secara tertulis tertanggal 4 Februari 2014 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya untuk menjatuhkan talak terhadap Termohon dan tetap membantah gugat balik Termohon, namun Pemohon sanggup memberi kepada Termohon berupa uang untuk pergi umroh sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dan nafkah iddah selama 3 bulan sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).
Sedangkan Termohon juga menyampaikan kesimpulan secara tertulis tertanggal 4 Februari 2014, yang intinya adalam membantah dalil-dalil Permohonan Pemohon dan Termohon minta berupa :
1)  Pemohon meminta maaf kepada Termohon.
2)  Pemohon mengembalikan seperti semula data kependudukan atas nama Termohon.
3)  Pemohon menepati janji untuk membayar haji dan umroh kepada Termohon.
4)  Menghukum Pemohon untuk membayar kerugian materiil maupun immateriil kepada Termohon berupa uang sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Hakim Pengadilan Agama Semarang memutus perkara tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut :
Dalam Konpensi :
1)    Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 49 huruf (a) Undag-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, perkara ini merupakan perkara perceraian antara orang-orang yang beragama Islam, maka merupakan kewenangan absolut Peradilan Agama ;
2)    Bahwa telah ditempuh usaha damai baik yang dilakukan oleh Majelis Hakim maupun melalui proses Mediasi dengan Mediator Hakim Drs. H. Ali Imron, S.H., yang telah dilaksanakan pada tanggal 29 Oktober 2013 namun tidak berhasil ;
3)    Bahwa perceraian dapat terjadi di samping mempunyai alasan sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 19 huruf a sampai dengan f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasali 116 huruf a sampai dengan h Kompilasi Hukum Islam juga harus terpenuhi hal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu antara suami istri itu sudan tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri ;
4)    Bahwa yang menjadi alasan pokok permohonan Pemohon konpensi adalah karena sejak bulan Ramadhan 1434 H antara Pemohon konpensi dengan Termohon konpensi terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang disebabkan masalah keasalah pahaman tentang perhiasan, oleh karena itu yang dijadikan alasan pokok dalam permohonan ini adalah telah terjadinya perselisihan dan pertengkaran terus menerus sebagaimana tersebut dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah tersebut, Majelis Hakim perlu mendengar keterangan pihak keluarga dan orang-orang yang dekat dengan suami istri tersebut ;
5)    Bahwa untuk meneguhkan dalil-dalilnya Pemohon Konpensi telah mengajukan bukti surat dan 2 orang saksi ;
6)    Bahwa di dalam persidangan Pemohon konpensi telah mengajukan bukti surat (P.1 dan P.2), oleh karena bukti tersebut telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagai bukti surat maka bukti P.1 dan P.2 dapat diterima dalam perkara ini ;
7)    Bahwa berdasarkan bukti surat (P.1 dan P.2) berupa potokopi Kartu Tanda Penduduk dan potokopi Kutipan Akta Nikah yang merupakan Akta Otentik telah mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende) maka telah terbukti antara Pemohon konpensi dengan Termohon konpensi adalah suami istri yang sah, oleh karena itu Pemohon konpensi mempunyai legal standing dalam perkara ini ;
8)    Bahwa di dalam persidangan Pemohon konpensi telah mengajukan dua orang saksi masing-masing bernama KASTAMAH binti PONI dan VISCA KHOIRUNNISA binti H. Dr. PRIJONO BADJURI, saksi-saksi tersebut telah memberikan keterangan di bawah sumpah mengenai apa yang ia lihat dan dengar sendiri mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi antara Pemohon konpensi dan Termohon konpensi dan keterangan dua orang saksi tersebut saling bersesuaian, atas dasar tersebut Majelis Hakim berpendapat, bahwa saksi-saksi tersebut telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagai saksi sehingga dapat dipertimbangkan ;
9)    Bahwa Termohon konpensi telah mambantah dan menolak dalil-dalil permohonan Pemohon konpensi, akan tetapi bukti saksi tiga orang yang diajukan oleh Termohon konpensi, yaitu FENTI binti KANDIYAWAN, ANDIKA KURNIAWAN bin KANDIYAWAN DAN CANDI HARTONO bin H. GITO MARTONO, semuanya menerangkan bahwa Pemohon konpensi dan Termohon konpensi telah terjadi perselisihan dan pertengkaran, dengan demikian saksi-saksi tersebut tidak menguatkan terhadap bantahan Termohon konpensi, bahkan menguatkan terhadap dalil-dalil permohonan Pemohon konpensi, dengan demikian bukti yang berupa 3 orang saksi yang diajukan Termohon konpensi harus dipertimbangkan ;
10)  Bahwa berdasarkan dalil-dalil Pemohon konpensi dihubungkan dengan bukti-bukti Pemohon konpensi dan bukti Termohon konpensi tersebut Majelis Hakim telah menemukan fakta hukum dalam persidangan sebagai berikut :
a)  Bahwa antara Pemohon konpensi dan Termohon konpensi adalah suami yang sah ;
b)  Bahwa antara Pemohon konpensi dan Termohon konpensi telah sering terjadi perselisihan dan pertengkaran ;
c)  Bahwa antara Pemohon konpensi dan Termohon konpensi telah berpisah tempat tingal sejak buklan Juni 2013 hingga sekarang dan selama berpisah keduanya tidak pernah ada komunikasi ;
d) Bahwa keluarga kedua belah pihak sudah pernah mencoba untuk merukunkan kembali keduanya, namun tidak berhasil.
11)  Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, terbukti bahwa dalam rumah tangga Pemohon konpensi dan Termohon konpensi telah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun dalam sebuah rumah tangga ;
12)  Bahwa Pemohon konpensi telah berketetapan hati untuk menceraikan Termohon konpensi, sesuai firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 227 yang artinya : “Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati) untuk talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lahi Maha Mengetahui” ;
13)  Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Majelis Hakim berkesimpulan, rumah tangga Pemohon nkonpensi dan Termohon konpensi telah pecah dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi, sehingga keduanya tidak dapat mewujudkan tujuan perkawinan sebagaimana ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam ;
14)  Bahwa dengan pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan Pemohon konpensi telah beralasan dan berdasar hukum sebagaimana ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jis. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, oleh karenanya permohonan Pemohon konpensi dapat dikabulkan dengan memberi izin kepada Pemohon konpensi untuk menjatuhkan talak satu raj’i terhadap Termohon konpensi ;
15)  Bahwa apabila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istri, hal ini sejalan dengan KHI Pasal 149 huruf (a), hal tersebut sejalan dengan Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 241, yang artinya : “Kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh suaminya mut’ah dengan ma’ruf sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa.” ;
16)  Bahwa dengan mempertimbangkan penghasilan Pemohon konpensi sebagai seorang pensiunan dokter yang masih menjalankan praktek dan berpenghasilan cukup lumayan, maka Majelis Hakim secara ex officio menghukum Pemohon konpensi untuk memberikan mut’ah berupa uang kepada Termohon konpensi sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) ;
17)  Bahwa bekas suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya selama dalam masa iddah, sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 huruf (b), dan juga berdasarkan Hadist Nabi, yang artinya : “Bahwa sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal hanyalah diperuntukkan bagi istri yang dijatuhi talak raj’i oleh suaminya.”
       Oleh karena pekerjaan Pemohon seperti disebut di atas, maka Majelis Hakim membebankan kepada pihak Pemohon konpensi untuk memberikan nafkah iddah kepada pihak Termohon konpensi selama 3 bulan / 90 hari, yang besarnya akan disesuaikan dengan pendapatan Pemohon konpensi sebagai pensiunan dokter yang masih menjalankan praktek dan juga sebagaimana kesanggupan Pemohon konpensi sendiri yang akan memberikan nafkah iddah kepada Termohon konpensi selama 3 bulan sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah), maka Majelis Hakim menghukum Pemohon konpensi untuk membayar nafkah iddah selama 3 bulan kepada Termohon konpensi sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) ;
18)  Bahwa untuk memenuhi ketentuan Pasal 84 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Semarang untuk mengirim salinan penetapan ikrar talak yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatatan Nikah yang wilayahnya meliputi tempat tinggal Pemohon ;
Dalam Rekonpensi :
1)    Bahwa Penggugat dalam rekonpensi semula adalah Termohon dalam konpensi dan Tergugat rekonpensi semula adalah Pemohon dalam konpensi ;
2)    Bahwa apabila Tergugat rekonpensi terpaksa mencerai Pengguga rekonpensi, Penggugat rekonpensi minta :
a)  Tergugat rekonpensi mengembalikan seperti semula data kependudukan atas  semua anggota keluarga Pengguga rekonpensi ;
b)  Meminta maaf kepada Penggugat rekonpensi ;
c)  Menepati janji untuk membayar haji dan umroh kepada Penggugat rekonpensi ;
d) Menghukum Tergugat rekonpensi untuk membayar kerugian materiil dan imateriil sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dengan seketika dan sekaligus ;
3)    Bahwa oleh karena keseluruhan gugatan Penggugat rekonpensi tersebut merupakan gugatan tentang perjanjian dan ganti rugi dan meskipun juga Tergugat rekonpensi menyanggupi untuk memberikan biaya pergi umroh sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), akan tetapi gugatan Penggugat rekonpensi tersebut tidak menjadi kewenangan Pengadilan Agama ;
Dalam Konpensi dan Rekonpensi :
Bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan maka sesuai Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, semua biaya perkara ini dibebankan kepada Pemohon konpensi / Tergugat rekonpensi ;
       Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Majelis Hakim Pengadilan Agama Semarang memutus perkara Nomor 2141/Pdt.G/2013/PA.Smg sebagai berikut :
Dalam Konpensi :
1)    Mengabulkan permohonan Pemohon konpensi ;
2)    Menetapkan memberi ijin kepada Pemohon konpensi untuk menjatuhkan talak terhadap Termohon konpensi di hadapan sidang Pengadilan Agama Semarang ;
3)    Menghukum Pemohon konpensi untuk membayar kepada Termohon konpensi berupa :
a)  Mut’ah berupa uang sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) ;
b)  Nafkah iddah selama 3 bulan sebesar Rp. 6.000.000,- (enak juta rupiah) ;
4)  Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Semarang untuk mengirim salinan penetapan ikrar talak kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat tinggal Pemohon konpensi dan Termohon konpensi dan kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan guna didaftar dan dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu ;
Dalam Rekonpensi :
Menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili gugatan Penggugat rekonpensi ;
Dalam Konpensi dan Rekonpensi :
Membebankan Pemohon konpensi / Tergugat rekonpensi untuk membayar semua biaya perkara ini sebesar Rp. 251.000,- (dua ratus lima puluh satu ribu rupiah) ;[34]
Melihat isi salinan putusan di atas maka Penulis dapat mengatakan bahwa faktor-faktor yang dijadikan bahan pertimbangan oleh Majelis Hakim telah sesuai dengan Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Majelis Hakim dengan jelas mempertimbangkan pendapatan pihak bekas suami per bulan dalam menentukan kadar Mut’ah dan nafkah iddah bagi bekas istri, namun Majelis Hakim tidak menjadikan lama pernikahan sebagai faktor pertimbangan menetapkan kadar Mut’ah dan faktor keadaan ekonomi di sekitar tempat tinggal bekas istri di dalam menentukan kadar nafkah iddah bagi bekas istri.

BAB V
PENUTUP

A.      Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat diambil simpulan sebagai berikut :
1.  Menurut Hukum Islam konsep penentuan kadar Mut’ah diatur dalam Surat Al-Baqarah ayat 236 yang artinya : “Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat baik.” Dan konsep penentuan kadar Mut’ah menurut perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Pasal 149 huruf (a) dan (b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan konsep nafkah iddah menurut hukum Islam terdapat pada Surat At-Talak ayat (6) yang berbunyi : “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,...”. Dan menurut perundang-undangan di Indonesia nafkah iddah diatur dalam Pasal 4 huruf (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 
2.  Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama Semarang dalam mengabulkan permohonan penentuan kadar Mut’ah adalah penghasilan suami perbulan, lamanya usia perkawinan dan kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan nafkah iddah tidak jauh berbeda, namun lamanya usia perkawinan tidak menjadi faktor pertimbangan dalam menentukan besar tidaknya kadar nafkah iddah, melainkan kadar nefkah iddah harus disesuaikan dengan keadaan ekonomi warga yang tinggal di sekitar kediaman mantan istri. Pada intinya kadar mut’ah dan nafkah iddah harus sesuai dengan kepatutan dan kemampuan dari bekas suami. Dalam hal kepatutan, mut’ah dan nafkah iddah yang diberikan harus layak dan pantas untuk diberikan kepada bekas istri. Sedangkan dalam hal kemampuan besarnya mut’ah dan nafkah iddah yang dibebankan tidak memberatkan bagi bekas suami sesuai dengan kondisi perekonomian dari bekas suami pada saat itu.
3.  Penerapan putusan hakim Pengadilan Agama Semarang tentang penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah dalam kasus ini putusan nomor 2141/Pdt.G/2013/PA.Smg telah sesuai dengan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Majelis Hakim dengan jelas mempertimbangkan pendapatan pihak bekas suami per bulan dalam menentukan kadar mut’ah dan nafkah iddah bagi bekas istri, namun Majelis Hakim tidak menjadikan lama perwakinan sebagai faktor pertimbangan menetapkan kadar mut’ah dan faktor keadaan ekonomi di sekitar tempat tinggal bekas istri di dalam menentukan kadar nafkah iddah bagi bekas istri.
B.      SARAN
1.  Bagi bekas suami yang mengajukan perkara cerai talak diharapkan untuk memperhatikan tentang kewajiban-kewajiban serta memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi olehnya terhadap bekas istri, seperti kewajiban memberi mut’ah dan nafkah iddah.
2.  Bagi Hakim Pengadilan Agama yang memutus perkara terkait dengan penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah sebaiknya memasukkan lama pernikahan dan keadaan perekonomian warga di sekitar tempat tinggal bekas istri untuk menjadi pertimbangan di dalam mengabulkan permohonan mut’ah dan nafkah iddah.
3.  Bagi lembaga Pengadilan Agama diharapkan untuk selalu mengawasi tentang pemberian kewajiban bekas suami pasca terjadinya perceraian pada saat pemberian tersebut diberikan di luar persidangan.




DAFTAR PUSTAKA


A. Buku
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : CV. Akademika Pressindo, 2004.

Alhamdani, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Pustaka Amani, 1989.

Al-Maraghi,AhmadMustafa,Tafsir Al-Maraghi,Alih BahasaolehAbuBakar, Bahrul, Dkk, Semarang : PT. Toha Putra, 1993.

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Anwar, Moh., Fiqih Islam, Bandung : Al-Ma’arif, 1988.

Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta : Rajawali Pers, 1996.

Arso Sosroatmodjo, Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, 1981.

As-Sayyid Al-Iraqi, Butsainah, Menyingkap Tabir Perceraian, Jakarta : Pustaka Al-Sofwa, 2005.

Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000.

Hamid, Zahri, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta : Bina Cipta, 1978.

MK, M. Anshary,  Hukum Perkawinan di IndonesiaI, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010.

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004.

Mulyadi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008.

Narudin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 sampai KHI), Jakarta : Prenada Media, 2004.
Sabiq, Sayyid, Terjemah Fiqh Al-Sunnah, Juz 8, Bandung : PT. Al-Ma’arif, 2000.

Said, Umar, Hukum Islam di Indonesia, Surabaya : CV. Cempaka, 1996.

B. Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai Perubahan Pertama Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.




[1] Muhammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet. 6, (Jakarta : PT. RajaGrafindo,  halaman 125.
[2] Muhammad al-Khathib al-Syarbayniy, Mughniy al-Muhtaj Juz 3, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), halaman 241.
[3] Moh. Mahfud, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, cet. I, (Yogyakarta : Yogyakarta Press, 1993), halaman 199.
[4] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997) halaman 1307.
[5] H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 2007) halaman 179.
[6] Ibnu Rusyd, penerjemah: Imam Ghazali Said& Achmad Zaidun, Bidayatul Mujtahid juz II (Jakarta : Pustaka Amani, 2002) halaman 622.
[7]Ibid, halaman 624.
[8] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), halaman 269.
[9] Rusyd, op.cit., halaman 622.
[10] Ibid, halaman 623.
[11] Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm al-Zhahiriy, al-Muhalla Juz 10, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, tanpa thn), halaman 245.
[12] Rusyd, op.ciit., halaman 623.
[13] Syaikh Muh. Ali as;Shobuni, Shafwat at-Tafaasir, (Beirut: Maktab al-‘Ashriyyah, 2011), halaman 130.
[14] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 2004), halaman 340.
[15] Abu Bakr bin Mas'ûd al-Kasaniy, Badâ`i' wa al-Shanâ`i' fi Tartîb al-Syarâ`i' Juz 2, (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1982), halaman 304.
[16] Moh. Mahfud, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, cet. I, (Yogyakarta : Yogyakarta Press, 1993), halaman 199.
[17] H. Arso Armojo, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. III, (Jakarta : Bulan Bintang, 1981), halaman 59.
[18] Azhari Basyir, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. I, (Yogyakarta, 1997,) halaman 77.
[19] M. Thalib, Liku-liku Perkawinan, cet. I, (Yogyakarta : P.D. Hidayat, 1986), halaman 168.
[20] R. Abdul Djamali, Hukum Islam, Asas-Asas, Hukum Islam I,Hukum Islam II, (Bandung : Mandar Maju : 2002), halaman 26.
[21] H.KN. Sofyan Hasan, Hukum Islam Bekal Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Literatur Lintas Media, 2004), halaman 57.
[22]Ibid, halaman 58.
[23]Ibid, halaman 59.
[24] Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia, 1998), halaman 34.
[25] Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), halaman 118.
[26]Al-Hakim, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pojok Bergaris), (Semarang : Asy-Syifa’, tanpa tahun), halaman 30.
[27]Ibid., halaman 31.
[28]Undang-Undang Perkawinan Mesir Nomor 25 Tahun 1929 Pasal 18 yang direvisi melalui Undang-Undang Nomor 100 Tahun 1985.
[29]Al-Hakim, op.cit., halaman 446.
[30]Pasal 149 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[31]Nasikun, Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara (Semarang, 10 Mei 2014).
[32]Ibid.
[33]Penjelasan Pasal 49 huruf (a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
[34]Nasikun, op.cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar