BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pada era globalisasi seperti sekarang ini banyak
sekali permasalahan-permasalahan yang timbul, umumnya pada permasalahan
perkawinan. Di Pengadilan Agama (PA) Semarang banyak pengajuan kasus perceraian
khususnya dalam kasus penyelesaian nafkah iddah dan penentuan kadar mut’ah.
Dimana norma-norma dan kaidah-kaidah yang ada dan mengatur masalah ini sudah
dikesampingkan. Dan hukum-hukum yang mengatur hal ini, sepertinya sudah tidak
diindahkan lagi. Walaupun ini hanya terjadi di kota-kota besar khususnya seperti
yang terjadi di Bandung, Jakarta, dan daerah khusus kota Semarang.
Pada prinsipnya perkawinan itu bertujuan untuk
selama hidup danuntuk mencapai kebahagiaan yang kekal (abadi) bagi suami istri
yang bersangkutan. Sehingga Rasulullah melarang keras terjadinya perceraian antara
suami istri, baik itu dilakukan atas inisiatif pihak laki-laki (suami) maupun
pihak perempuan (istri). Karena semua bentuk perceraian itu akan berdampak
buruk bagi masing-masing pihak. Suatu perceraian yang telah terjadi antara
suami istri secara yuridis memang mereka itu masih mampunyai hak dan kewajiban
antara keduanya, terutama pada saat si istri sedang menjalani masa iddah.
Iddah adalah waktu menunggu bagi mantan istri yang
telah diceraikan oleh mantan suaminya, baik itu karena thalak atau
diceraikannya. Ataupun karena suaminya meninggal dunia yang pada waktu tunggu
itu mantan istri belum boleh melangsungkan pernikahan kembali dengan laki-laki
lain.[1]
Pada saat iddah inilah antara kedua belah pihak yang
telah mengadakan perceraian, masing-masing masih mempunyai hak dan kewajiban antara
keduanya. Bila suami melalaikan kewajibannya maka akan timbul berbagai
permasalahan, misalnya si anak putus sekolahnya, sehingga anak tersebut menjadi
terlantar atau bahkan menjadi gelandangan. Sedangkan mantan istrinya sendiri
tidak menutup kemungkinan akan terjerumus ke lembah hitam.
Mut’ah adalah "sejumlah harta yang wajib
diserahkan suami kepada isterinya yang telah diceraikannya semasa hidupnya
dengan cara talak atau cara yang semakna dengannya".[2]
Inilah fenomena-fenomena yang sering timbul dari
perceraian yang mana suami tidak melaksanakan kewajibannya terhadap hak istri
dan anak pada masa iddah. Setelah terjadi perceraian pada hakikatnya si suami
harus memberikan minimal perumahan pada mantan istri dan anaknya. Berkenaan dengan
itu kewajiban suami tersebut, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 81 ayat 1 yang
berbunyi “Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya
atau mantan istrinya yang masih dalam masa iddah”.[3]
Dari bunyi di atas sudah jelas bagi suami yang telah
menceraikan istrinya wajib untuk menyediakan tempat tinggal, ataupun
membolehkan istrinya untuk bertempat tinggal di rumahnya sampai batas masa
iddah habis (berakhir).
Bila suami melalaikan kewajiban ini, maka istri
dapat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama. Gugatan tersebut dapat
diajukan bersama-sama sewaktu istri mengajukan berkas gugatan atau dapat pula
gugatan tersebut diajukan di kemudian. Akan tetapi ada pula kewajiban tersebut
tidak dapat dibebankan kepada mantan suami, misalnya pada waktu terjadi perceraian
tersebut disebabkan istri murtad atau sebab-sebab lainnya yang menjadi sebab
suami tidak wajib menunaikan hak istri dan bila telah adakemufakatan bersama
atas putusan Pengadilan Agama tentang nafkah anak tersebut, maka dapat pula
nafkah si anak ditanggung bersama antara keduanya (suami-istri).
Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam
menyelesaikan masalah nafkah iddah. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut
di atas para pencari keadilan yang selalu agresif mengajukan permasalahannya ke
Pengadilan Agama. Bila tidak mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum sudah
barang tentu pengajuan perkara haruslah sesuai dengan prosedur yang telah
ditentukan oleh undang-undang.
Berdasarkan alasan yang terurai di atas, maka
penulis tertarik untuk membahas masalah dengan judul “FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM TERHADAP PENENTUAN KADAR MUT’AH DAN
NAFKAH IDDAH : Studi Kasus di Pengadilan Agama Semarang”.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah bertitik tolak dari latar belakang
tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang
merupakan sentral pembahasan dalam proposal penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana
konsep penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah menurut hukum Islam dan
perundang-undangan di Indonesia ?
2. Apa
yang menjadi faktor-faktor pertimbangan hakim Pengadilan Agama Semarang dalam
mengabulkan permohonan penentuan kadar Mut’ah dan nafkah iddah ?
3. Bagaimana
kesesuaian putusan hakim Pengadilan Agama Semarang tentang penentuan kadar
mut’ah dan nafkah iddah dengan hukum Islam ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penulisan dalam penelitian ini adalah
:
1. Untuk
mengetahui konsep penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah menurut hukum Islam
dan perundang-undangan di Indonesia.
2. Untuk
mengetahui faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Semarang dalam mengabulkan permohonan penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah.
3. Untuk
mengetahui kesesuaian putusan hakim Pengadilan Agama Semarang tentang penentuan
kadar mut’ah dan nafkah iddah dengan hukum Islam.
Manfaat dari penulisan ini terdiri dari manfaat
teoritis dan manfaat praktis, yaitu :
1. Manfaat
Teoritis
Penulis
berharap bahwa hasil penelitian akan berguna untuk pengembangan ilmu
pengetahuan serta kajian di bidang ilmu hukum khususnya Hukum Perdata mengenai
faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam menentukan kadar mut’ah dan nafkah
iddah.
2. Manfaat
Praktis
a) Bagi
penulis agar dapat memahami lebih mendalam mengenai faktor yang menjadi
pertimbangan hakim menentukan kadar mut’ah dan nafkah iddah dalam
pelaksanaannya di Pengadilan Agama Semarang.
b) Diharapkan
dapat memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang mut’ah dan nafkah iddah.
D. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan
skripsi ini, Penulis membagi kedalam 5 bab dengan sub-sub bab yang disusun
secara sistematis sebagai berikut :
Bab
I : Pendahuluan
Bab ini berisi tentang gambaran
umum latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
yang ingin diperoleh dari penulisan
skripsi ini.
Bab
II : Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi
tentang pengertian mut’ah,mut’ah dilihat dari segi jenis talak dan segi
jumlahnya, pengertian nafkah iddah, serta landasan pemikiran yang menjadi dasar
penulisan skirpsi.
Bab
III : Metode Penelitian
Bab ini berisi
tentang metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode penentuan sampel,
metode pengumpulan data, serta metode analisis data tentang pelaksanaan
penelitian itu sendiri.
Bab
IV : Hasil dan Pembahasan Penelitian
Bab ini berisi
tentang deskripsi objek penelitian, analisis data dan pembahasan. Dalam bagian ini akan berisi tentang konsep
penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah menurut hukum Islam dan
perundang-undangan di Indonesia, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim
Pengadilan Agama Semarang dalam mengabulkan permohonan penentuan kadar mut’ah
dan nafkah iddah, serta kesesuaian putusan hakim Pengadilan Agama Semarang
tentang penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddan dengan hukum Islam.
Bab
V : Penutup
Berisi
kesimpulan yang didasarkan pada pembahasan bab hasil penelitian dan juga berisi
tentang saran sebagai solusi terhadap permasalahan yang dihadapi.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Mut’ah
Mut’ah (المتعة) secara bahasa artinya
adalah kesenangan, sedangkan menurut istilah yaitu sesuatu yang diberikan
kepada istri yang dicerai sebagai penghibur.[4]
Pendapat lain dikatakan bahwa mut’ah adalah suatu pemberian oleh suami kepada
istri yang dicerainya (cerai talak) agar hati istri dapat terhibur. Pemberian
itu dapat berupa uang, barang, pakaian, atau perhiasan menurut keadaan dan
kemampuan suami.[5]
Abu Hanifah berpendapat bahwa mut’ah diwajibkan
untuk setiap wanita yang dicerai sebelum digauli, Abu Hanifah beralasan dengan
firman Allah :
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian
kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib
atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah
mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”
(Al-Ahzab: 49).
Segolongan fuqaha berpendapat bahwa mut’ah hanya
disunnahkan, tidak diwajibkan, hal ini diperkuat oleh Imam Maliki yang
berpendapat bahwa perintah memberikan mut’ah itu sunnah.[6]
Malik beralasan dengan firman Allah pada akhir ayat 236 surat Al-Baqarah :
“Tidak ada
kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan”.[7]
Imam Syafi’i berpendapat bahwa mut’ah diwajibkan
untuk setiap istri yang dicerai manakala pemutusan perkawinan datang dari pihak
suami, kecuali istri yang telah ditentukan maskawin untuknya dan dicerai
sebelum digauli.
Dalam qaul qadim, Imam Syafi’i berpendapat bahwa
suami tidak wajib memberikan mut’ah kepada isteri yang dicerainya, karena
isteri telah mendapat mahar. Sedangkan dalam qaul jadid, Imam Syafi’i
berpendapat bahwa suami wajib memberikan mut’ah kepada isteri yang dicerai,
karena Allah berfirman :
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu:
"Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka
Marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang
baik.” (QS. al-Ahzab: 28).
Dalam qaul qadim
tersebut, Imam Syafi’i menggunakan logika sebagai argumennya, sedangkan
dalam qaul jadid, beliau menggunakan al-Qur’an sebagai argumennya, yaitu QS.
al-Ahzab: 28.[8]
Fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa mut’ah wajib untuk
setiap istri yang dicerai. Sesuai dengan firman Allah surat al-Baqarah: 241,
yang berbunyi:
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan
(hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu
kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”.[9]
Mut’ah dapat dilihat dari segi jenis talaknya dan
segi jumlahnya dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Dari segi
jenis talak
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa mut'ah itu
wajib hukumnya untuk semua isteri yang ditalak, tanpa mempertimbangkan jenis
maharnya dan perceraiannya.
Syafi’i mengartikan perintah mut’ah kepada keumuman
orang perempuan yang ditalak, kecuali orang perempuan yang telah ditetapkan
maharnya dan diceraikan sebelum digauli.[10]
Sedangkan fuqaha Zhahiri mengartikan perintah
memberikan mut’ah itu kepada keumumannya. Memberi mut'ah itu hukumnya wajib,
baik yang terjadi itu adalah talak raj'iy, talak bâ`in maupun karena kematian
salah satunya, sebelum dukhul atau setelahnya, pernah disebutkan secara jelas
sebelumnya atau tidak.[11]
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang perempuan yang
memperoleh khulu’ tidak memperoleh mut’ah, karena kedudukannya sebagai pihak
yang memberi, seperti halnya wanita yang ditalak sebelum digauli sesudah ada
penentuan mahar.[12]
Dijelaskan kembali dalam al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 236 bahwasanya, bagi perempuan yang dicerai sebelum dicampuri, atau
sebelum ditentukan maharnya, hendaklah para suami mereka memberikan mut’ah
kepada mereka sesuai dengan kemampuannya. Kemudian, dijelaskan lagi dalam ayat
241 bahwasanya, bagi wanita-wanita yang dicerai, hendaklah suaminya memberikan
mut’ah. Dalam ayat ini tidak dijelaskan secara khusus mengenai isteri-isteri
yang bagaimana yang akan diberi mut’ah oleh suaminya, artinya ayat ini
menyebutkan bahwa semua wanita yang dicerai diberikan mut’ah oleh suaminya.
Dalam Shofwat at-Tafaasir dijelaskan
bahwa dalam ayat ini suami wajib memberikan mut’ah kepada isterinya sesuai kadar kemampuannya,
hal ini merupakan kewajiban bagi orang-orang mukmin yang bertaqwa kepada Allah.[13]
Dari kedua ayat ini muncullah perbedaan dikalangan
para ulama’, sebagian berpendapat bahwa yang dibayar mut’ahnya hanya isteri
yang belum dicampuri saja, sedangkan isteri yang sudah dicampuri, apalagi sudah
dibayar maharnya, maka hukumnya hanya sunnah saja.[14]
Namun dalam surat al-Ahzab ayat 28, dijelaskan tentang kisah Rasulullah yang
diperintah untuk menyampaikan kepada isteri-isterinya, bahwa mereka disuruh
untuk memilih apakah mereka menginginkan
dunia dengan segala kemewahannya atau mengikuti Rasulullah dengan hidup apa
adanya. Kalau mereka memilih bercerai, maka Rasulullah akan menceraikan mereka
dan akan diberi mut’ah sebagai pengobat hati.
2. Dari Segi
Jumlahnya
Sementara tentang jumlah mut'ah yang harus diberikan
itu, dijelaskan dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 236 (di atas). Ayat tersebut
tidak menyebutkan batasan maksimal dan minimal mut'ah yang harus diberikan
suami kepada isterinya. Sepertinya ayat ini memberikan hak sepenuhnya kepada
suami dalam menentukan jumlah pemberian itu. Satu-satunya syarat yang diberikan
ayat ini adalah "kepatutan". Hal itu terlihat dari pernyataan yang
menyebutkan bahwa "Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang
miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut".
Dengan pernyatan seperti ini, maka ada tiga unsur kepatutan yang mesti
diperhatikan dalam pemberian mut'ah. Pertama, kepatutan atau kepantasan
berdasarkan kemampuan si suami, dan itu didasarkan pada ayat di atas. Artinya,
suami yang kaya tidak pantas memberikan mut'ah yang sama jumlahnya dengan suami
yang termasuk golongan miskin, dan sebaliknya. Kedua, patut atau pantas bagi si
isteri. Artinya, isteri yang terbiasa dengan pola hidup "cukup" atau
(apalagi) "mewah" dengan suami itu atau keluarganya sebelumnya, tidak
pantas kalau mendapat mut'ah yang jumlahnya "sedikit". Sebabnya,
seperti dikatakan al-Kasaniy, karena
mut'ah itu sendiri adalah sebagai ganti dari "kemaluannya".
Oleh karena itu, keadaan si isteri lah yang jadi
pedoman dalam penentuan mut'ah itu. Ketiga, patut atau pantas menurut adat yang
berlaku di lingkungan tempat mereka hidup. Hal ini perlu mendapatkan perhatian,
setidaknya, untuk menghindari terjadinya kesenjangan sosial antara si isteri
yang diberi mut'ah dengan orang-orang yang berada di sekitarnya.[15]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 160
dijelaskan bahwa jumlah mu’tah yang diberikan kepada seorang istri oleh si
suami didasarkan kepada kepatutan dan kemampuan si suami. Maka karena itu,
keadaan ekonomi dan sosial suami amat menentukan terhadap besarnya mut’ah.
B. Nafkah Iddah
Menurut historis iddah telah dikenal sejak zaman
dahulu. Orang-orang Arab tidak pernah meninggalkan iddah bagi istri-istri
mereka yang telah diceraikan dan ini telah menjadi kebiasaan. Para ulama telah
sepakat iddah itu hukumnya wajib bagi istri yang telah diceraikan.
Iddah ialah masa tunggu atau tenggang waktu sesuai
dengan jatuhnya thalak dari suami, dimana pada masa iddah ini suami boleh untuk
merujuk kepada istrinya. Sehingga pada masa iddah ini si istri belum boleh
untuk melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain.
Pada masa iddah ini sebenarnya untuk meyakinkan
kekosongan rahim si istri agar terhindar dari percampuran atau kekacauan nasab
bagi anak yang dikandung. Disamping itu untuk memikir kembali atau jalan yang
mereka tempuh, apakah untuk merujuk kembali atau tetap meneruskan perceraian yang
telah terjadi. Bagi istri yang telah diceraikan oleh suaminya, baik istri tersebut
dicerai hidup dari pihak si suami ataukah si istri tersebut sedang mengandung
atau tidak. Maka si istri tersebut wajib untuk menjalani masa iddah sebagaimana
tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 153 ayat (1) yang berbunyi :
“Bagi
seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali
qobla dukhul dan perkawinan putus bukan karena kematian suami”.[16]
Dari bunyi pasal tersebut di atas dapat dipahami
bahwa setiap istriyang diceraikan suaminya diharuskan untuk menjalani masa
iddah, yang lama waktunya ditetapkan menurut keadaan istri yang diceraikan atau
suami yang menceraikannya, yakni apakah perceraian itu terjadi karena cerai
proses pengadilan atau cerai karena kematian. Setelah terjadinya perceraian berdasarkan
hukum perdata maupun hukum syara’ si suami dibebankan untuk memberikan
perumahan kepada pihak mantan istri. Dan apabila si suami tidak memberikannya,
baik itu perumahan ataupun nafkah kehidupan (uang belanja) maka si istri dapat
mengajukan masalah tersebut kepada pengadilan agama.Mengajukan tuntutan
perumahan ataupun biaya nafkah dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan
cerai dan dapat pula diajukan kemudian.
Kewajiban suami terhadap istri tersebut diatur dalam
Undang-undang No. 1 1974 Pasal 41 (c), yang berbunyi : “Pengadilan Agama dapat mewajibkan
kepada mantan suami untuk memberikan biaya kehidupan dan atau untuk menentukan
suatu kewajiban bagi mantan suami”.[17]
Suatu yang telah diputuskan di Pengadilan Agama
haruslah dipatuhi dan dijalankan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, bila tidak
dijalankan maka Pengadilan Agama dapat menjatuhkan eksekusi kepada pihak tersebut.
Inipun apabila pihak dirugikan mengadu kepada
Pengadilan Agama yakni tentang putusan yang dilalaikan oleh pihak lain. Dalam
mengeksekusi pihak yang melalaikan putusan majlis hakim tersebut, Pengadilan
Agama dapat menarik atau meminta bantuan kepada pihak kepolisian.
Perceraian yang terjadi karena si istri murtad atau
melanggar syara’ lainnya, maka si istri tersebut tidak mempunyai hak untuk
menuntut perumahan dan biaya nafkah. Ini berakibat si suami mempunyai kewajiban
untuk memberi perumahan ataupun nafkah belanja. Akan tetapi adapun si istri mempunyai
hak namun si suami tidak wajib menunaikannya. Ini hanya berlaku pada perceraian
yang terjadi karena mati atau setelah bercerai si suami meninggal dunia.
Menurut Azhar Basyir, suatu perceraian yang terjadi karena kematian suaminya baik
itu perceraian yang terjadi, kemudian si suami meninggal dunia maka bekas
istrinya tidaklah dapat menuntut hak kepada orang yang telah meninggal dunia.
Tetapi nafkah dapat diambil dengan menyisihkan sebagian harta peninggalan si
suami yang meninggal tersebut.[18]
Jadi istri (perempuan) yang ditinggal mati suaminya
itu tidak sepenuhnya dia mendapat nafkah namun bila bekas suami tersebut meninggalkan
harta yang cukup, maka sesudah dibaginya harta si istri dan mendapatkan
dispensasi dalam mendapatkan bagiannya.
M. Tholib dalam masalah hak istri pada masa iddah
itu menjelaskan bahwa perempuan beriddah mendapatkan hak kediaman (perumahan),
dan ia haruslah tetap tinggal, di rumah suaminya habis masa iddahnya. Dan suami
tidak berhak menyuruh istrinya keluar rumah tersebut, sekalipun telah jatuh talak
atau perpisahan ketika tidak di rumah suami, maka istri tetaplah wajib untuk
pulang ke rumah suaminya itu begitu ia mengetahui bahwa telah jatuh talak
tersebut.[19]
Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa istri yang telah ditalak suaminya walaupun waktu tidak ada di rumah
kediaman suami tersebut, maka istri tersebut tetap wajib untuk kembali dan
tinggal di rumah tersebut, suamipun tidaklah berhak untuk melarang dan mengusir
istri tersebut dengan
alasan apapun, karena merupakan salah satu hak istri terhadap suami dimana si suami haruslah
menunaikannya.
Dalam tunjangan ini apabila tidak memuaskan dapat
mengajukan kembali permohonan supaya penetapan ini hakim ditinjau kembali. Ada kalanya
jumlah tunjangan itu ditetapkan oleh kedua belah pihak atas dasar mufakat,
namun ada juga jumlah tunjangan itu ditetapkan oleh hakim dengan pertimbangan
dan keadaan suami.
C. Landasan Pemikiran
Beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini
sebagai landasan pemikiran dan sebagai alat analisisnya :
1. Hukum
Islam
Hukum Islam merupakan keseluruhan ketentuan perintah
Allah SWT yang wajib ditaati oleh seorang muslim agar manusia tertib, aman, dan
selamat.[20]
Yang menjadi sumber dari Hukum Islam adalah :
a) Al-Qur’an
: Kumpulan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada utusan-Nya, Nabi Muhammad SAW
melalui perantaraan malaikat Jibril a.s. yang berfungsi sebagai petunjuk bagi
orang-orang beriman dalam mengarungi bahtera kehidupan.
b) Sunah
Rasulullah SAW : “Semua perkataan, perbuatan, dan pengakuan Nabi Muhammad SAW
yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri”.[21]Hadits
merupakan bagian dari sunnah yaitu sunnah qauliyah (perkataan Rasulullah SAW
tentang sesuatu perbuatan atau hal).
c) Akal
: melalui akal sehatnya orang beriman berupaya memikirkan dan menentukan hukum
dari suatu perkara yang tidak ditemui dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW
karena sifat kekinian perkara tersebut. Upaya tersebut dilakukan dengan jalan ra’yu atau berijtihad. Ra’yu adalah pendapat dan pertimbangan
seseorang yang memiliki persepsi mental dan pertimbangan seseorang yang
memiliki persepsi mental dan pertimbangan yang bijaksana.[22]
Sedangkan istilah ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan segala
kemampuan yang ada yang dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat
untuk mendapatkan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya
dalam Al’Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.[23]
2. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal
41 :
Akibat
putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a) Baik
ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b) Bapak
yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut;
c) Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
3. Kompilasi
Hukum Islam
Pasal 158:
Mut’ah
wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a) Belum
ditetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhul
b) Perceraian
itu atas kehendak suami.
Pasal 159:
Mut’ah
sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada Pasal 158.
Pasal 160 :
Besarnya
mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian,
maka metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis
normatif, mengingat permasalahan yang diteliti dan dikaji berpegang pada aspek
yuridis yaitu berdasakan pada norma-norma, peraturan-peraturan,
perundang-undangan, teori-teori hukum dan pendapat-pendapat para ahli hukum
terkemuka.[24]
Pada penelitian hukum normatif, hukum dikonsepsikan
sebagai apa yang tertulis dalam perundang-undangan atau hukum dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
dianggap pantas.[25]
Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian
normatif karena dengan meneliti bahan pustaka terhadap data sekunder yang
bersumber pada bahan kepustakaan. Bahan yang diteliti dalam penelitian ini
adalah putusan-putusan lembaga peradilan dalam hal penentuan kadar mut’ah dan
nafkah iddah akibat perceraian dalam hal ini penerapannya pada Pengadilan Agama
Semarang.
B. Spesifikasi Penelitian
Untuk mendekati pokok permasalahan penelitian,
digunakan penelitian deskriptif analitis yaitu melukiskan keadaan masalahnya
tanpa maksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum.
Berdasarkan Undang-Undang, norma-norma hukum positif, dan doktrin-doktrin
hukum. Sedangkan analisisnya yaitu menganalisa faktor-faktor yang menjadi
pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan penentuan mut’ah dan nafkah
iddah.
C. Metode Penentuan Sampel
Metode penentuan sampel yang digunakan adalah metode
nonrandom sampling dengan memakai purposive sampling yaitu teknik
pengumpulan data yang pengambilan subjeknya didasarkan pada tujuan tertentu
terlebih dahulu berdasarkan objek yang diteliti.
Adapun yang menjadi objek penelitian dalam
pengambilan sampel dengan metode purpose sampling ini mengenai putusan
Pengadilan Agama tentang penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Nomor 2141/Pdt.G/2013/PA.Smg,
sehubungan dengan itu respondennya adalah Hakim Pengadilan Agama Semarang.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi
kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan cara memperoleh data secara tidak
langsung dari objek penelitian yaitu dalam bentuk mempelajari
literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, serta bahan-bahan hukum lain
yang erat kaitannya dengan pembahasan Hukum Islam yang menelaah tentang
penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah, meliputi :
1. Bahan
Hukum Primer :
a) Al’Qur’an
dan Hadist Nabi Muhammad SAW,
b) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
c) Kompilasi
Hukum Islam.
2. Bahan
Hukum Sekunder :
Bahan
hukum sekunder diambil dari literatur-literatur, buku-buku, dan artikel-artikel
elektronik di internet serta bahan-bahan hukum lain yang berkaitan dengan
permasalahan penentuan kadar mut’ah dan nafkah iddah.
3. Bahan
Hukum Tersier :
Bahan
hukum yang memberikan petunjuk atas bahan hukum primer dan sekunder seperti
kamus, ensiklopedia, dan sebagainya.
Selain studi kepustakaan Penulis juga mewawancarai
responden guna melengkapi studi kepustakaan yang Penulis gunakan.
E. Metode Analisis Data
Data tersebut akan dianalisis secara normatif
kualitatif. Normatif karena peneliti bertitik tolak dari peraturan yang ada
sebagai norma hukum positif sedangkan kualitatif dimaksudkan yaitu daripada
data yang telah terkumpul akan dikelompokkan sesuai dengan permasalahan.
Kemudian diolah dan dijelaskan sesuai dengan kenyataan serta teori-teori yang
relevan dengan ilmu hukum sehingga dapat ditarik kesimpulan.
BAB
IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Penentuan Kadar Mut’ah dan Nafkah
Iddah Menurut Hukum Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia
Syariat Islam menyerahkan penentuan kadar nafkah mut’ah kepada kebiasaan
masyarakat dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi suami. Hal ini sebagaimana
firman Allah SWT :
“Dan
hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-Baqarah : 236).[26]
Dan
firman-Nya,
“Kepada wanita-wanita yang
diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang makruf,
sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” (Al-Baqarah : 241).[27]
Dalam Undang-undang Perkawinan Mesir Nomor 25 Tahun 1929 Pasal 18 yang
direvisi melalui Undang-undang Nomor 100 Tahun 1985 disebutkan bahwa: “Seorang
istri yang telah digauli dalam pernikahan yang sah, jika dicerai oleh suaminya
tanpa adanya kerelaan dan sebab dari sang istri, maka dia berhak mendapatkan
nafkah mut’ah di samping nafkah selama masa iddahnya. Kadar nafkah mut’ah ini
paling sedikit disamakan dengan nafkah selama dua tahun dan disesuaikan dengan
keadaan ekonomi suami, sebab-sebab perceraian dan lamanya masa perkawinan.
Suami dalam memenuhi kewajiban mut’ah ini boleh membayarnya secara mencicil.
Dengan demikian, kadar nafkah mut’ah ini ditentukan oleh pengadilan berdasarkan
pertimbangan kondisi permasalahan. Kecuali jika si istri ketika dicerai qabla dukhul maka tidak ada kewajiban
bagi suami memberikan nafkah mut’ah.[28]
Dari keterangan di atas dapat di ambil kesimpulan jika seorang suami wajib
memberikan mut’ah bagi istrinya yang diceraikan, walaupun istri itu seorang
wanita karir. Karena dari keterangan ayat al-Quran surat al-Baqarah tidak di
batasi oleh kadar kekayaan si istri.
Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah,
kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan
tidak hamil adalah wajib.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 4 (sub
c) yang berbunyi :
“Pengadilan
Agama dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan atau menentukan suatu kewajiban bagi istri”.
Hal ini juga dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 81 ayat (1) dan (2)
yang berbunyi :
1. Suami wajib menyediakan tempat
tinggal bagi istri dan anak-anaknya atau
bekas istrinya yang masih dalam iddah.
2. Tempat kediaman adalah tempat
tinggal.
Para fuqaha telah sepakat bahwa perempuan yang berada dalam masa iddah talak raj’i masih
berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. Begitu juga halnya perempuan yang
hamil, berdasarkan firman Allah swt berkenaan istri tang ditalak raj’i dan
istri yang ditalak dalam keadaan hamil:
“Tempatkanlah
mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika
mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,....”(QS at-Talak : 6)[29]
Bagi fuqaha yang menetapkan tempat tinggal tanpa nafkah bagi istri yang
ditalaq ba’in dan tidak hamil, mereka beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh imam Malik
dalam al-Muwatta’ dari hadits Fatimah yang artinya :
“Maka bersabda Rasulullah saw. Tidak ada untukmu atasnya tanggungan
nafkah”.
Dalam riwayat tersebut tidak disebutkan adanya pengahpusan tempat tinggal.
Itulah sebabnya fuqaha tersebut tetap berpegang teguh keumuman firman Allah QS
at-Talaq ayat 6 yang artinya “ tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu..”
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
tidaklah dapat mengubah ketentuan dalam kasus-kasus yang sudah jelas
dikemukakan dan ditetapkan oleh Al Qur'an dan as sunnah. Namun hanya dalam
kasus wathi syubhat dan zina
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dimanfaatkan, sebab hukum
antara pria dan wanita dalam kasus ini hanya terkait pada masalah dhuhul yang
menggunakan kesucian rahim.
Meskipun terdapat keyakinan bahwa rahim perempuan
(istri) bersih dan diantara mereka (suami istri) tidak mungkin rujuk kembali,
namun tidaklah dapat dibenarkan bagiperempuan tersebut (bekas istri) melanggar
ketentuan iddah yang sudah ditentukan.
Begitu pula sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan
untuk memperpanjang iddah bagi istri yang dapat mengakibatkan penganiayaan
maupun yang mendatangkan keuntungan baik bagi bekas suami ataupun bagi bekas
istri.
Hak Istri pada Masa Iddah adalah :
1. Mendapatkan
nafkah selama masa iddah ;
2. Mendapatkan
perumahan selama masa iddah ;
3. Istri
berhak memutuskan untuk rujuk kembali.
Kewajiban suami pada masa iddah istri adalah sebagai
berikut :
1. Suami wajib
memberikan nafkah pada istri ;
2. Suami wajib
memberikan perumahan pada istri ;
3. Suami
berhak untuk merujuk kembali atau tidak.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 4 huruf (c) yang berbunyi : “Pengadilan Agama dapat mewajibkan
kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu
kewajiban bagi istri”. Hal ini juga dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
81 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :
1. Suami wajib
menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istrinya yang
masih dalam iddah.
2. Tempat
kediaman adalah tempat tinggal.
Berdasar pada pasal di atas dan dipertegas dalam
Kompilasi Hukum Islam menunjukkan bahwa perumahan masuk ke dalam kategori dari
bunyi pasal dan hukum di atas untuk mewajibkan suami menyediakan tempat
kediaman bagi istri selama masa iddah atau tempat kediaman bagi istri dapat
dialih artikan suami memberikan rumah yang lain untuk ditempati istri baik
selama pada masa iddah ataupun setelahnya. Akan tetapi bila istri itu sendiri
yang meninggalkan rumah yang telah ditetapkan tanpa alasan yang dipertanggung
jawabkan, maka istri tersebut telah dianggap nusyuz. Adapun kewajiban lainnya
bagi suami adalah memberikan biaya nafkah selama masa iddah, sebagaimana yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 149
huruf (a) dan (b) yang berbunyi antara lain :
Bila perkawinan
putus karena talak, maka bekas suami wajib :
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas
istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla dukhul.
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas
istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau
nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.[30]
Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim yang
bernama Bapak Nasikun, nafkah iddah dan mut’ah itu tidak tergantung pada pihak
istri itu sendiri. Adapun suami sendiri yang dengan suka rela tanpa dituntut
dulu oleh istri di Pengadilan Agama memenuhi kewajiban suami yang pada masa
iddah. Apabila istri berkeinginan menuntut nafkah iddah, maka dapat
dilaksanakan berdasarkan pada Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan
Agama yang berbunyi : “Gugatan soal pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah istri
dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dalam gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Nafkah iddah merupakan hak istri pada masa iddah dan
mut’ah merupakan hak istri sebagai biaya hiburan setelah diceraikan oleh suami
serta kewajiban suami pula untuk melaksanakannya. Mengenai jumlah nafkah iddah dan
mut’ah bagi istri tersebut sangat relatif. Bila terjadi perselisihan mengenai
jumlah, dapat dianjurkan dan diberikan pengarahan oleh Pengadilan Agama untuk
diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan. Akan tetapi bila tidak terjadi
kesepakatan dalam penentuan jumlah maka pengadilan agama dapat menentukan
jumlahnya yang disesuaikan dengan kemampuan suami dan tidak memberatkannya, dan
sebaliknya diberikan pada saat setelah pembacaan sighot thalak di muka majelis
hakim Pengadilan Agama.
Suami dapat untuk tidak melaksanakannya disebabkan
si istri melalaikan kewajibannya, atau sebab yang lainnya yaitu istri
mengikhlaskan suami untuk tidak melaksanakan kewajibannya. Ini sesuai dengan Pasal
80 ayat (4) dan (7) Kompilasi Hukum Islam.
Dari bunyi pasal tersebut di atas tampak jelas suami
dapat tidak melaksanakan kewajiban yaitu :
1. Apabila si
istri benar-benar telah mengikhlaskannya ;
2. Apabila si
istri dalam keadaan nusyuz, maka akibat hukumnya hak istri pada masa iddah
gugur dengan sendirinya baik perkara tersebut dalam proses pengadilan ataupun
tidak.
B. Faktor-Faktor yang Menjadi Pertimbangan Hakim
Pengadilan Agama Semarang dalam Mengabulkan Permohonan Penentuan Kadar Mut’ah dan
Nafkah Iddah
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan
Agama Semarang yang bernama Bapak Nasikun, yang menjadi faktor yang menjadi
pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan penentuan kadar mut’ah adalah
sebagai berikut :
1. Penghasilan
suami per bulan
Dalam
hal menetapkan kadar mut’ah seharusnya hakim menyesuaikan dengan penghasilan
suami per bulannya. Jadi hakim tidak serta merta menentukan kadar mut’ah sesuai
dengan tuntutan pihak istri.
2. Lamanya
usia perkawinan
Hal
ini juga menjadi acuan hakim dalam menentukan kadar mut’ah. Semakin lama usia
perkawinan pasangan suami istri maka besar kemungkinan akan semakin besar pula
kadar mut’ah yang wajib diberikan suami kepada mantan istrinya.
3. Kesepakatan
kedua belah pihak
Apabila
sudah tercapai kesepakatan diantara kedua belah pihak, maka hakim harus
memutuskan besar kadar mut’ah sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak
tersebut.[31]
Demikian juga dengan penentuan kadar nafkah iddah di
Pengadilan Agama Semarang. Hakim Pengadilan Agama Semarang Bapak Nasikun,
faktor penentuan kadar nafkah iddah tidak jauh berbeda dengan penentuan mut’ah,
hanya saja kadar nafkah iddah tidak melihat lamanya usia perkawinan. Namun
penentuan kadar nafkah iddah harus disesuaikan dengan keadaan ekonomi warga
yang tinggal di sekitar kediaman mantan istri. Maksudnya apabila mantan istri
tinggal di lingkungan yang keadaan ekonominya rata-rata Rp. 1.000.000,- per
bulan, maka tidak pantas bila mantan suami hanya memberikan nafkah iddah selama
3 bulan kepada mantan istri hanya sebesar Rp. 500.000,-. Namun itu semua tetap
disesuaikan dengan pendapatan mantan suami per bulannya.[32]
C. Kesesuaian Penerapan Putusan Hakim
Pengadilan Agama Semarang terhadap Penentuan Kadar Mut’ah dan Nafkah Iddah
dengan Hukum Islam
1. Wewenang Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan
Kewajiban Nafkah Iddah dan Mut’ah kepada Suami Istri yang Telah Bercerai
Pengadilan Agama merupakan suatu badan peradilan
yang turut melaksanakan kekuasaan hakim dan memegang peranan penting di dalam
melaksanakan Undang-undang perkawinan. Keberadaan lembaga Pengadilan Agama di
Indonesia merupakan wadah untuk menyelesaikan perkara umat Islam, dimana
kewenangan dan ruang lingkup Pengadilan Agama mengalami pasang surut. Setelah
Indonesia merdeka, perkembangan tata hukum pengadilan agama sangat pesat. Hal
ini ditandai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana dengan
peraturan perundang-undangan semakin mempertegas ruang lingkup dan eksistensi
kekuasaan wewenang pengadilan agama dalam menegakkan lembaga kehakiman. Peraturan
perundang-undangan tersebut antara lain :
1. Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ;
2. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ;
3. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung ;
4. Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama ;
5. Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam.
Dengan adanya perundang-undangan di atas maka nampak
jelas kemajuan dan perkembangan Peradilan Agama. Dimana peraturan yang menjadi
dasar hukum Pengadilan Agama merupakan wujud nyata bahwa kedudukan Pengadilan Agama
sekarang telah dipertegas dengan perundang-undangan, seperti dalam Pasal 25
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi : “Kekuasaan kehakiman dilakukan pengadilan dalam lingkungan : a.
Pengadilan Umum b. Pengadilan Agama c. Pengadilan Militer d. Pengadilan Tata
Usaha Negara”.
Dari bunyi pasal tersebut, nampak jelas telah adanya
klasifikasi lembaga peradilan dan ruang lingkup masing-masing yang berarti
menunjukkan kemajuan dalam Tata Hukum Indonesia. Akan tetapi bila ditilik
sampai seberapa jauh ruang lingkup kewenangan mengadili dalam lingkungan
Pengadilan Agama maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kewenangan
Pengadilan Agama hanya meliputi perkara-perkara tertentu saja, ini berarti
klasifikasi ruang lingkup Pengadilan Agama yang ada belum sempurna.
Berdasarkan penjelasan dalam pasal 25 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, maka akan dapat berakibat kesalah pahaman
dan kesimpang siuran dalam menentukan batasan-batasan kompetensi absolut dari
pada lembaga pengadilan. Mengenai kewenangan Pengadilan Agama dan ruang lingkup
dalam hubungan dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama, berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf (a), isinya antara lain :
Yang dimaksud
dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan
undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah,
antara lain :
1. Izin beristri lebih dari seorang ;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang
yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalamhal orang tua wali, atau
keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat ;
3. Dispensasi kawin ;
4. Pencegahan perkawinan ;
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat
Nikah ;
6. Pembatalan perkawinan ;
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan
istri ;
8. Perceraian karena talak ;
9. Gugatan perceraian ;
10. Penyelesaian harta bersama ;
11. Penguasaan anak-anak ;
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak
mematuhinya ;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan
oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri ;
14. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak ;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
;
16. Pencabutan kekuasaan wali ;
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh
pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut ;
18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak
yang belum cult up umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang
tuanya ;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta
benda anak yang ada di bawah kekuasaannya ;
20. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan
pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam ;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian
keterangan untuk melakukan perkawinan campuran ;
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang
terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan
menurut peraturan yang lain.[33]
Oleh karena Nafkah Iddah dan Mut’ah merupakan akibat
dari perceraian maka hal tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam
memutus perkara tersebut.
2. Produk Hukum Pengadilan Agama
a) Putusan
Putusan disebut Vonnis
(Belanda) atau al qada’u (Arab),
yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam
perkara, yaitu Penggugat dan Tergugat. Produk pengadilan semacam ini biasa
diistilahkan dengan produk peradilan yang sesungguhnya atau “jurisdictio cententiosa”.
Putusan Peradilan Perdata (Peradilan Agama adalah
Peradilan Perdata) selalu memuat perintah dari Pengadilan kepada pihak yang
kalah untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu, atau untuk
melepaskan sesuatu, atau menghukum sesuatu. Jadi diktum vonis selalu bersifat condemnatoir artinya menghukum, atau
bersifat constitutoir artinya
menciptakan.
Perintah dari Pengadilan ini jika tidak dilaksanakan
dengan sukarela, dapat diperintahkan untuk dilaksanakan secara paksa yang
disebut dengan eksekusi.
Putusan Pengadilan mempunyai 3 kekuatan, yaitu : 1)
kekuatan mengikat (bindende kracht), 2)
kekuatan bukti (bewijzende kracht),
dan 3) kekuatan eksekusi (executoriale
kracht).
Suatu putusan mempunyai kekuatan mengikat dan mempunyai
kekuatan bukti ialah setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht). Suatu verzet, banding,
kasasi tidak dipergunakan dan tenggang waktu untuk itu sudah habis, atau telah
mempergunakan upaya hukum tersebut dan sudah selesai. Upaya hukum terhadap
putusan yang telah in kracht tidak
ada lagi, kecuali permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tetapi hanya
dengan alasan-alasan sangan tertentu sekali.
Putusan yang sudah in kracht sekalipun ada dimohonkan peninjauan kembali ke Mahkamah
Agung, tidak terhalang untuk dieksekusi, itulah yang dikatakan mempunyai
kekuatan eksekusi.
Suatu putusan dikatakan mempunyai bukti misalnya
putusan cerai. Ia merupakan bukti otentik terjadinya cerai.
b) Penetapan
Penetapan disebut al Isbat (Arab) atau beschiking
(belanda), yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang
sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdictio
voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena di sana
hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan sesuatu, sedangkan ia tidak
berperkara dengan lawan.
Karena penetapan itu muncul sebagai produk
Pengadilan atas permohoan yang tidak berlawan maka diktum penetapan tidak akan
pernah berbunyi menghukum melainkan hanya bersifat menyatakan (declaratoire) atau menciptakan (constitutoire).
Putusan mempunyai 3 kekuatan dan berlaku untuk
pihak-pihak maupun untuk dunia luar (pihak ke tiga) tetapi penetapan hanya
berlaku untuk pemohon sendiri, untuk ahli warisnya dan untuk orang yang
memperoleh hak daripadanya.
Contoh penetapan seperti pengesahan nikah bagi
keperluan pensiun Pegawai Negeri Sipil dari suami-istri yang tidak ada sengketa
antara keduanya, tetapi dulu-dulunya mereka menikah di bawah tangan sehingga
tidak mempunyai akta nikah.
3. Asas Putusan Hakim
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 178 H.I.R, Pasal
189 R.Bg. dan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, maka wajib bagi hakim sebagai aparatur Negara yang diberi
tugas untuk itu, untuk selalu memegang teguh asas-asas yang telah digariskan
oleh undang-undang, agar keputusan yang dibuat tidak terdapat cacat hukum,
yakni :
a) Memuat
Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Menurut
asas ini setiap putusan yang jatuhkan oleh hakim harus berdasarkan pertimbangan
yang jelas dan cukup, memuat dasar dasar putusan, serta menampilkan pasal pasal
dalam peraturan undang-undang tertentu yang berhubungan dengan perkara yang
diputus, serta berdasarkan sumber hukum lainnya, baik berupa yurisprudensi,
hukum kebiasaan atau hukum adat baik tertulis maupun tidak tertulis,
sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 25
ayat (1). Bahkan menurut Pasal 178 ayat (1) hakim wajb mencukupkan segala
alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara.
b) Wajib Mengadili
Seluruh Bagian Gugatan
Asas
ini diatur dalam Pasal 178 ayat (2) H.I.R., Pasal 189 ayat (2) R.Bg. dan Pasal
50 Rv. Yakni, Hakim dalam setiap keputusannya harus secara menyeluruh memeriksa
dan mengadili setiap segi tuntutan dan mengabaikan gugatan selebihnya. Hakim
tidak boleh hanya memeriksa sebagian saja dari tuntutan yang diajukan oleh
penggugat.
c) Tidak boleh
Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Menurut
asas ini hakim tidak boleh memutus melebihi gugatan yang diajukan (ultra petitum partium). Sehingga menurut
asas ini hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugat dianggap
telah melampaui batas kewenangan atau ultra
vires harus dinyatakan cacat atau invalid, meskipun hal itu dilakukan
dengan itikad baik. Asas ini diatur dalam Pasal 178 ayat (3) H.I.R., Pasal 189
ayat (3) R.Bg. dan Pasal 50 Rv.
d) Diucapkan di
Muka Umum
Prinsip
putusan diucapkan dalam sidang terbuka ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 20. Hal ini tidak terkecuali
terhadap pemeriksaan yang dilakukan dalam sidang tertutup, khususnya dalam
bidang hukum keluarga, misalnya perkara perceraian, sebab meskipun perundangan
membenarkan perkara perceraian diperiksa dengan cara tertutup. Namun dalam
Pasal 34 Peraturan Pemerintah Tahun 1975 menegaskan bahwa putusan gugatan
perceraian harus tetap diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Sehingga
prinsip keterbukaan ini bersifat memaksa (imperative),
tidak dapat dikesampingkan, pelanggaran terhadap prinsip ini dapat
mengakibatkan putusan menjadi cacat hukum.
4. Penerapan Putusan Hakim Pengadilan Agama
Semarang terhadap PenentuanKadar Mut’ah dan Nafkah Iddah
Dalam hal ini Penulis membandingkan kesesuaian
antara Putusan Hakim Pengadilan Agama Semarang Nomor 2141/Pdt.G/2013/PA.Smg
dengan Hukum Islam.
Di dalam Perkara Cerai Talak Nomor
2141/Pdt.G/2013/PA.Smg pihak Termohon di sini mantan istri mengajukan
rekonvensi terkait dengan tuntutan nafkah mut’ah dan nafkah iddah untuk Termohon.
Selain itu Termohon juga menuntut janji mantan suami sebelum menikah yang akan
menaikkan haji plus serta umroh Termohon, namun setelah menikah pihak Pemohon
tidak melaksanakannya.
Pihak Pemohon yang notabene seorang dokter secara
lesan di depan persidangan membantah isi dari rekonvensi pihak Termohon, namun
Pemohon sanggup memberi kepada pihak Termohon berupa :
1) Untuk ganti
umroh berupa uang sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).
2) Untuk
Mut’ah terserah Majelis Hakim.
3) Untuk
nafkah iddah selama 3 bulan sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).
Pemohon kemudian menyampaikan kesimpulan secara
tertulis tertanggal 4 Februari 2014 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya
untuk menjatuhkan talak terhadap Termohon dan tetap membantah gugat balik
Termohon, namun Pemohon sanggup memberi kepada Termohon berupa uang untuk pergi
umroh sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dan nafkah iddah
selama 3 bulan sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).
Sedangkan Termohon juga menyampaikan kesimpulan
secara tertulis tertanggal 4 Februari 2014, yang intinya adalam membantah
dalil-dalil Permohonan Pemohon dan Termohon minta berupa :
1) Pemohon
meminta maaf kepada Termohon.
2) Pemohon
mengembalikan seperti semula data kependudukan atas nama Termohon.
3) Pemohon
menepati janji untuk membayar haji dan umroh kepada Termohon.
4) Menghukum
Pemohon untuk membayar kerugian materiil maupun immateriil kepada Termohon
berupa uang sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Hakim Pengadilan Agama Semarang memutus perkara
tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut :
Dalam Konpensi :
1) Bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 49 huruf (a) Undag-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, perkara ini merupakan perkara perceraian
antara orang-orang yang beragama Islam, maka merupakan kewenangan absolut
Peradilan Agama ;
2) Bahwa
telah ditempuh usaha damai baik yang dilakukan oleh Majelis Hakim maupun
melalui proses Mediasi dengan Mediator Hakim Drs. H. Ali Imron, S.H., yang
telah dilaksanakan pada tanggal 29 Oktober 2013 namun tidak berhasil ;
3) Bahwa
perceraian dapat terjadi di samping mempunyai alasan sebagaimana tertuang dalam
ketentuan Pasal 19 huruf a sampai dengan f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 jo. Pasali 116 huruf a sampai dengan h Kompilasi Hukum Islam juga harus
terpenuhi hal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu antara suami istri itu sudan tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami istri ;
4) Bahwa
yang menjadi alasan pokok permohonan Pemohon konpensi adalah karena sejak bulan
Ramadhan 1434 H antara Pemohon konpensi dengan Termohon konpensi terjadi
perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang disebabkan masalah keasalah pahaman
tentang perhiasan, oleh karena itu yang dijadikan alasan pokok dalam permohonan
ini adalah telah terjadinya perselisihan dan pertengkaran terus menerus
sebagaimana tersebut dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, maka sesuai dengan
ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah tersebut, Majelis Hakim perlu
mendengar keterangan pihak keluarga dan orang-orang yang dekat dengan suami
istri tersebut ;
5) Bahwa
untuk meneguhkan dalil-dalilnya Pemohon Konpensi telah mengajukan bukti surat
dan 2 orang saksi ;
6) Bahwa di
dalam persidangan Pemohon konpensi telah mengajukan bukti surat (P.1 dan P.2),
oleh karena bukti tersebut telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil
sebagai bukti surat maka bukti P.1 dan P.2 dapat diterima dalam perkara ini ;
7) Bahwa
berdasarkan bukti surat (P.1 dan P.2) berupa potokopi Kartu Tanda Penduduk dan
potokopi Kutipan Akta Nikah yang merupakan Akta Otentik telah mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig)
dan mengikat (bindende) maka telah terbukti
antara Pemohon konpensi dengan Termohon konpensi adalah suami istri yang sah, oleh
karena itu Pemohon konpensi mempunyai legal
standing dalam perkara ini ;
8) Bahwa di
dalam persidangan Pemohon konpensi telah mengajukan dua orang saksi
masing-masing bernama KASTAMAH binti PONI dan VISCA KHOIRUNNISA binti H. Dr.
PRIJONO BADJURI, saksi-saksi tersebut telah memberikan keterangan di bawah
sumpah mengenai apa yang ia lihat dan dengar sendiri mengenai peristiwa-peristiwa
yang terjadi antara Pemohon konpensi dan Termohon konpensi dan keterangan dua
orang saksi tersebut saling bersesuaian, atas dasar tersebut Majelis Hakim
berpendapat, bahwa saksi-saksi tersebut telah memenuhi syarat formil dan syarat
materiil sebagai saksi sehingga dapat dipertimbangkan ;
9) Bahwa
Termohon konpensi telah mambantah dan menolak dalil-dalil permohonan Pemohon
konpensi, akan tetapi bukti saksi tiga orang yang diajukan oleh Termohon
konpensi, yaitu FENTI binti KANDIYAWAN, ANDIKA KURNIAWAN bin KANDIYAWAN DAN
CANDI HARTONO bin H. GITO MARTONO, semuanya menerangkan bahwa Pemohon konpensi
dan Termohon konpensi telah terjadi perselisihan dan pertengkaran, dengan
demikian saksi-saksi tersebut tidak menguatkan terhadap bantahan Termohon konpensi,
bahkan menguatkan terhadap dalil-dalil permohonan Pemohon konpensi, dengan
demikian bukti yang berupa 3 orang saksi yang diajukan Termohon konpensi harus
dipertimbangkan ;
10) Bahwa
berdasarkan dalil-dalil Pemohon konpensi dihubungkan dengan bukti-bukti Pemohon
konpensi dan bukti Termohon konpensi tersebut Majelis Hakim telah menemukan
fakta hukum dalam persidangan sebagai berikut :
a) Bahwa
antara Pemohon konpensi dan Termohon konpensi adalah suami yang sah ;
b) Bahwa
antara Pemohon konpensi dan Termohon konpensi telah sering terjadi perselisihan
dan pertengkaran ;
c) Bahwa
antara Pemohon konpensi dan Termohon konpensi telah berpisah tempat tingal
sejak buklan Juni 2013 hingga sekarang dan selama berpisah keduanya tidak
pernah ada komunikasi ;
d) Bahwa
keluarga kedua belah pihak sudah pernah mencoba untuk merukunkan kembali
keduanya, namun tidak berhasil.
11) Bahwa
berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, terbukti bahwa dalam rumah tangga
Pemohon konpensi dan Termohon konpensi telah terjadi perselisihan dan
pertengkaran terus menerus dan tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun dalam
sebuah rumah tangga ;
12) Bahwa
Pemohon konpensi telah berketetapan hati untuk menceraikan Termohon konpensi,
sesuai firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 227 yang artinya
: “Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati) untuk talak, maka sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lahi Maha Mengetahui” ;
13) Bahwa
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Majelis Hakim
berkesimpulan, rumah tangga Pemohon nkonpensi dan Termohon konpensi telah pecah
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi, sehingga keduanya tidak dapat
mewujudkan tujuan perkawinan sebagaimana ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 Kompilasi
Hukum Islam ;
14) Bahwa
dengan pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan Pemohon konpensi telah
beralasan dan berdasar hukum sebagaimana ketentuan Pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jis.
Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf
(f) Kompilasi Hukum Islam, oleh karenanya permohonan Pemohon konpensi dapat
dikabulkan dengan memberi izin kepada Pemohon konpensi untuk menjatuhkan talak
satu raj’i terhadap Termohon konpensi ;
15) Bahwa
apabila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut’ah
yang layak kepada bekas istri, hal ini sejalan dengan KHI Pasal 149 huruf (a),
hal tersebut sejalan dengan Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 241,
yang artinya : “Kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh
suaminya mut’ah dengan ma’ruf sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang
bertaqwa.” ;
16) Bahwa
dengan mempertimbangkan penghasilan Pemohon konpensi sebagai seorang pensiunan
dokter yang masih menjalankan praktek dan berpenghasilan cukup lumayan, maka
Majelis Hakim secara ex officio
menghukum Pemohon konpensi untuk memberikan mut’ah berupa uang kepada Termohon
konpensi sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) ;
17) Bahwa
bekas suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya selama dalam masa iddah,
sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 huruf (b), dan juga berdasarkan
Hadist Nabi, yang artinya : “Bahwa sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal
hanyalah diperuntukkan bagi istri yang dijatuhi talak raj’i oleh suaminya.”
Oleh karena
pekerjaan Pemohon seperti disebut di atas, maka Majelis Hakim membebankan
kepada pihak Pemohon konpensi untuk memberikan nafkah iddah kepada pihak
Termohon konpensi selama 3 bulan / 90 hari, yang besarnya akan disesuaikan
dengan pendapatan Pemohon konpensi sebagai pensiunan dokter yang masih
menjalankan praktek dan juga sebagaimana kesanggupan Pemohon konpensi sendiri
yang akan memberikan nafkah iddah kepada Termohon konpensi selama 3 bulan
sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah), maka Majelis Hakim menghukum
Pemohon konpensi untuk membayar nafkah iddah selama 3 bulan kepada Termohon
konpensi sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) ;
18) Bahwa
untuk memenuhi ketentuan Pasal 84 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera
Pengadilan Agama Semarang untuk mengirim salinan penetapan ikrar talak yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatatan Nikah yang
wilayahnya meliputi tempat tinggal Pemohon ;
Dalam
Rekonpensi :
1) Bahwa
Penggugat dalam rekonpensi semula adalah Termohon dalam konpensi dan Tergugat
rekonpensi semula adalah Pemohon dalam konpensi ;
2) Bahwa
apabila Tergugat rekonpensi terpaksa mencerai Pengguga rekonpensi, Penggugat
rekonpensi minta :
a) Tergugat
rekonpensi mengembalikan seperti semula data kependudukan atas semua
anggota keluarga Pengguga rekonpensi ;
b) Meminta
maaf kepada Penggugat rekonpensi ;
c) Menepati
janji untuk membayar haji dan umroh kepada Penggugat rekonpensi ;
d) Menghukum
Tergugat rekonpensi untuk membayar kerugian materiil dan imateriil sebesar Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dengan seketika dan sekaligus ;
3) Bahwa
oleh karena keseluruhan gugatan Penggugat rekonpensi tersebut merupakan gugatan
tentang perjanjian dan ganti rugi dan meskipun juga Tergugat rekonpensi
menyanggupi untuk memberikan biaya pergi umroh sebesar Rp. 25.000.000,- (dua
puluh lima juta rupiah), akan tetapi gugatan Penggugat rekonpensi tersebut
tidak menjadi kewenangan Pengadilan Agama ;
Dalam
Konpensi dan Rekonpensi :
Bahwa
perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan maka sesuai Pasal 89 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, semua
biaya perkara ini dibebankan kepada Pemohon konpensi / Tergugat rekonpensi ;
Berdasarkan pertimbangan tersebut di
atas Majelis Hakim Pengadilan Agama Semarang memutus perkara Nomor
2141/Pdt.G/2013/PA.Smg sebagai berikut :
Dalam Konpensi :
1) Mengabulkan
permohonan Pemohon konpensi ;
2) Menetapkan
memberi ijin kepada Pemohon konpensi untuk menjatuhkan talak terhadap Termohon
konpensi di hadapan sidang Pengadilan Agama Semarang ;
3) Menghukum
Pemohon konpensi untuk membayar kepada Termohon konpensi berupa :
a) Mut’ah
berupa uang sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) ;
b) Nafkah
iddah selama 3 bulan sebesar Rp. 6.000.000,- (enak juta rupiah) ;
4) Memerintahkan
Panitera Pengadilan Agama Semarang untuk mengirim salinan penetapan ikrar talak
kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat tinggal Pemohon
konpensi dan Termohon konpensi dan kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat
perkawinan dilangsungkan guna didaftar dan dicatat dalam daftar yang disediakan
untuk itu ;
Dalam
Rekonpensi :
Menyatakan
Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili gugatan Penggugat rekonpensi ;
Dalam Konpensi dan Rekonpensi :
Membebankan
Pemohon konpensi / Tergugat rekonpensi untuk membayar semua biaya perkara ini
sebesar Rp. 251.000,- (dua ratus lima puluh satu ribu rupiah) ;[34]
Melihat isi salinan putusan di atas maka Penulis
dapat mengatakan bahwa faktor-faktor yang dijadikan bahan pertimbangan oleh
Majelis Hakim telah sesuai dengan Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku. Majelis Hakim dengan jelas mempertimbangkan pendapatan pihak
bekas suami per bulan dalam menentukan kadar Mut’ah dan nafkah iddah bagi bekas
istri, namun Majelis Hakim tidak menjadikan lama pernikahan sebagai faktor
pertimbangan menetapkan kadar Mut’ah dan faktor keadaan ekonomi di sekitar
tempat tinggal bekas istri di dalam menentukan kadar nafkah iddah bagi bekas
istri.
BAB
V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas
maka dapat diambil simpulan sebagai berikut :
1. Menurut
Hukum Islam konsep penentuan kadar Mut’ah diatur dalam Surat Al-Baqarah ayat
236 yang artinya : “Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada
mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat baik.” Dan konsep penentuan
kadar Mut’ah menurut perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Pasal 149
huruf (a) dan (b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sedangkan konsep nafkah iddah menurut hukum Islam terdapat pada Surat At-Talak
ayat (6) yang berbunyi : “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak)
itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin,...”. Dan menurut perundang-undangan di Indonesia nafkah iddah diatur
dalam Pasal 4 huruf (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
2. Faktor-faktor
yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama Semarang dalam mengabulkan
permohonan penentuan kadar Mut’ah adalah penghasilan suami perbulan, lamanya
usia perkawinan dan kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan nafkah iddah tidak
jauh berbeda, namun lamanya usia perkawinan tidak menjadi faktor pertimbangan
dalam menentukan besar tidaknya kadar nafkah iddah, melainkan kadar nefkah
iddah harus disesuaikan dengan keadaan ekonomi warga yang tinggal di sekitar
kediaman mantan istri. Pada intinya kadar mut’ah dan nafkah iddah harus sesuai
dengan kepatutan dan kemampuan dari bekas suami. Dalam hal kepatutan, mut’ah
dan nafkah iddah yang diberikan harus layak dan pantas untuk diberikan kepada
bekas istri. Sedangkan dalam hal kemampuan besarnya mut’ah dan nafkah iddah
yang dibebankan tidak memberatkan bagi bekas suami sesuai dengan kondisi
perekonomian dari bekas suami pada saat itu.
3. Penerapan
putusan hakim Pengadilan Agama Semarang tentang penentuan kadar mut’ah dan
nafkah iddah dalam kasus ini putusan nomor 2141/Pdt.G/2013/PA.Smg telah sesuai
dengan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Majelis Hakim dengan jelas mempertimbangkan pendapatan pihak bekas suami per
bulan dalam menentukan kadar mut’ah dan nafkah iddah bagi bekas istri, namun
Majelis Hakim tidak menjadikan lama perwakinan sebagai faktor pertimbangan
menetapkan kadar mut’ah dan faktor keadaan ekonomi di sekitar tempat tinggal
bekas istri di dalam menentukan kadar nafkah iddah bagi bekas istri.
B. SARAN
1. Bagi bekas
suami yang mengajukan perkara cerai talak diharapkan untuk memperhatikan
tentang kewajiban-kewajiban serta memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi
olehnya terhadap bekas istri, seperti kewajiban memberi mut’ah dan nafkah
iddah.
2. Bagi Hakim
Pengadilan Agama yang memutus perkara terkait dengan penentuan kadar mut’ah dan
nafkah iddah sebaiknya memasukkan lama pernikahan dan keadaan perekonomian
warga di sekitar tempat tinggal bekas istri untuk menjadi pertimbangan di dalam
mengabulkan permohonan mut’ah dan nafkah iddah.
3. Bagi lembaga
Pengadilan Agama diharapkan untuk selalu mengawasi tentang pemberian kewajiban
bekas suami pasca terjadinya perceraian pada saat pemberian tersebut diberikan
di luar persidangan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdurrahman,
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta : CV. Akademika Pressindo, 2004.
Alhamdani,
Hukum Perkawinan Islam, Jakarta :
Pustaka Amani, 1989.
Al-Maraghi,AhmadMustafa,Tafsir Al-Maraghi,Alih BahasaolehAbuBakar,
Bahrul, Dkk, Semarang : PT. Toha Putra, 1993.
Amirudin
dan Zainal Asikin, Pengantar Metode
Penelitian Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Anwar,
Moh., Fiqih Islam, Bandung :
Al-Ma’arif, 1988.
Arifin,
Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di
Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta : Rajawali Pers,
1996.
Arso
Sosroatmodjo, Wasit Aulawi, Hukum
Perkawinan di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, 1981.
As-Sayyid
Al-Iraqi, Butsainah, Menyingkap Tabir
Perceraian, Jakarta : Pustaka Al-Sofwa, 2005.
Hakim,
Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung
: CV. Pustaka Setia, 2000.
Hamid,
Zahri, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam
dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta : Bina Cipta, 1978.
MK,
M. Anshary, Hukum Perkawinan di IndonesiaI, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2010.
Muhammad,
Abdul Kadir, Hukum dan Penelitian Hukum,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004.
Mulyadi,
Hukum Perkawinan di Indonesia,
Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008.
Narudin,
Amir dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum
Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih,
UU No 1 Tahun 1974 sampai KHI), Jakarta : Prenada Media, 2004.
Sabiq,
Sayyid, Terjemah Fiqh Al-Sunnah, Juz
8, Bandung : PT. Al-Ma’arif, 2000.
Said,
Umar, Hukum Islam di Indonesia,
Surabaya : CV. Cempaka, 1996.
B. Perundang-undangan
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 sebagai Perubahan Pertama Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
[1] Muhammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
cet. 6, (Jakarta : PT. RajaGrafindo, halaman 125.
[2] Muhammad al-Khathib
al-Syarbayniy, Mughniy al-Muhtaj Juz 3,
(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), halaman 241.
[3] Moh. Mahfud, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia, cet. I, (Yogyakarta : Yogyakarta Press, 1993),
halaman 199.
[4] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997) halaman 1307.
[5] H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung:
Mandar Maju, 2007) halaman 179.
[6] Ibnu Rusyd, penerjemah: Imam
Ghazali Said& Achmad Zaidun, Bidayatul
Mujtahid juz II (Jakarta : Pustaka Amani, 2002) halaman 622.
[8] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), halaman 269.
[9] Rusyd, op.cit., halaman 622.
[11] Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm
al-Zhahiriy, al-Muhalla Juz 10,
(Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, tanpa thn), halaman 245.
[12] Rusyd, op.ciit., halaman 623.
[13] Syaikh Muh. Ali as;Shobuni, Shafwat at-Tafaasir, (Beirut: Maktab
al-‘Ashriyyah, 2011), halaman 130.
[14] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 2004), halaman 340.
[15] Abu Bakr bin Mas'ûd al-Kasaniy, Badâ`i' wa al-Shanâ`i' fi Tartîb al-Syarâ`i'
Juz 2, (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1982), halaman 304.
[16] Moh. Mahfud, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia, cet. I,
(Yogyakarta : Yogyakarta Press, 1993), halaman 199.
[17] H. Arso Armojo, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. III,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1981), halaman 59.
[18] Azhari Basyir, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. I, (Yogyakarta,
1997,) halaman 77.
[19] M. Thalib, Liku-liku Perkawinan, cet. I, (Yogyakarta : P.D. Hidayat, 1986), halaman
168.
[20] R. Abdul Djamali, Hukum Islam, Asas-Asas, Hukum Islam I,Hukum
Islam II, (Bandung : Mandar Maju : 2002), halaman 26.
[21] H.KN. Sofyan Hasan, Hukum Islam Bekal Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Literatur Lintas Media, 2004),
halaman 57.
[24] Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta :
Ghalia, 1998), halaman 34.
[25] Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), halaman 118.
[26]Al-Hakim, Al-Qur’an
dan Terjemahannya (Ayat Pojok Bergaris), (Semarang : Asy-Syifa’, tanpa
tahun), halaman 30.
[28]Undang-Undang Perkawinan Mesir Nomor 25 Tahun 1929 Pasal 18 yang direvisi
melalui Undang-Undang Nomor 100 Tahun 1985.
[29]Al-Hakim, op.cit.,
halaman 446.
[30]Pasal 149 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
[31]Nasikun, Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara
(Semarang, 10 Mei 2014).
[32]Ibid.
[33]Penjelasan Pasal 49 huruf (a) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
[34]Nasikun, op.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar