Senin, 21 Juli 2014

KAJIAN KRIMINOLOGI TENTANG PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK : STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRESTABES SEMARANG



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Penelitian
       Perkembangan tekhnologi saat ini kian pesat, salah satunya di bidang transportasi khususnya kendaraan bermotor. Perkembangan yang pesat itu seharusnya diimbangi dengan sarana lalu lintas jalan raya. Hal ini dengan tujuan untuk mengatasi jumlah kendaraan yang kian hari kian membludak. Semakin membludaknya kendaraan di jalan raya sering menimbulkan pelanggaran lalu lintas. Untuk mengatasi masalah tersebut maka diperlukan kaidah-kaidah hukum yg tepat untuk mengatasinya.
       Kaidah hukum adalah suatu kaidah yang diperlukan guna mengatasi masalah hukum khususnya pelanggaran lalu lintas. Dalam kemajuan teknik seperti sekarang ini peranan lalu lintas dianggap memiliki peran penting. Bukan hanya untuk kemajuan teknik saja tapi juga berguna bagi kita.
       Berbicara tentang lalu lintas maka rasanya tak lepas dengan adanya kendaraan bermotor. Dari kendaraan bermotor itulah kita seperti dimanjakan olehnya. Baik dari segi praktis maupun segi ekonomis. Dengan adanya kendaraan bermotor segala sesuatu dapat kita tempuh dengan cepat dan mudah. Misalnya kita akan bepergian jauh kita dapat menggunakan kendaraan bermotor dan jarak yang jauh itu kita dapat tempuh dengan cepat. Siapapun pasti akan sangat malas ketika seseorang harus pergi jauh tanpa menggunakan kendaraan bermotor. Bisa kita bayangkan jika tanpa adanya kendaraan bermotor ? Dari sinilah kita mengerti bahwa kendaraan bermotor memiliki peran yang vital dalam sendi-sendi kehidupan sehari-hari. Kendaraan bermotor juga merupakan salah satu poros dalam pemerintahan. Suatu roda pemerintahan agar berjalan lancar apabila sarana lalu lintas berjalan dengan baik. Dengan semakin meningkatnya peranan lalu lintas terutama yang menggunakan kendaraan bermotor, diperlukan peraturan yang efisien untuk mengaturnya guna mencegah timbulnya suatu pelanggaran lalu lintas.
       Pelanggaran lalu lintas merupakan suatu keadaan dimana terjadi ketidak sesuaian antara aturan dan pelaksanaan. Aturan dalam hal ini yang dimaksud adalah Undang-Undang yang telah ditetapkan oleh negara yang berlaku secara sah, sedangkan masyarakat menjadi pelaksananya. Dalam mengikuti aturan yang tertera dalam pasal – pasal jika tidak sesuai dengan pasal – pasal tersebut, maka disebut pelanggaran lalu lintas. Pelanggaran lalu lintas tidak dapat dibiarkan begitu saja karena bersumber dari suatu pelanggaran tersebut akan timbul kecelakaan lalu lintas, meski juga masih ada faktor lain yang menyebabkannya.
       Dalam rangka menanggulangi pelanggaran lalu lintas maka dirumuskan suatu peraturan perundang - undangan. Peraturan yang dimaksud adalah Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang di dalamnya berisi pengaturan dan penerapan sanksi bagi suatu pelanggar. Hal ini dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku agar tidak terlalu membebani masyarakat.
       Bukan rahasia umum lagi bahwa akhir – akhir ini sering terjadi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak baik menggunakan kendaraan bermotor, mobil atau sepeda motor di jalan raya  maupun jalan tol.
       Semakin kompleksnya masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji dalam bentuk skripsi dengan judul : KAJIAN KRIMINOLOGI TENTANG PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK : STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRESTABES SEMARANG.

B.   Perumusan Masalah
       Agar pembahasan dalam tulisan ini tidak terlalu luas, maka Penulis memberikan batasan pembahasan dengan rumusan sebagai berikut :
1.  Bagaimana pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di Wilayah Hukum Polrestabes Semarang apabila dilihat dari sudut kriminologi ?
2.  Apa yang harus dilakukan oleh Polrestabes Semarang dalam menghadapi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak apabila dilihat dari sudut kriminologi ?
C.   Tujuan Dan Manfaat Penelitian
       Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1.  Untuk mengetahui kajian kriminologi tentang pelanggaran lalu lintas yang dilakukan  oleh anak di wilayah hukum Polrestabes semarang.
2.  Untuk mengetahui tindakan yang harus dilakukan Satlantas Polrestabes Semarang dalam menghadapi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak dari sudut kriminologi.
       Manfaat dari penulisan ini terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis :
1.  Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan serta sumbangan dalam pengembangan Ilmu Hukum Pidana Indonesia secara umum, dan secara khusus untuk Fakultas Hukum Universitas Semarang.
2.  Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan referensi bagi siapa saja yang membutuhkan khususnya mahasiswa Fakultas Hukum yang mempelajari tentang Kriminologi.

D.   Sistematika Penulisan
       Dalam penulisan skripsi ini, Penulis membagi kedalam 5 bab dengan sub-sub bab yang disusun secara sistematis sebagai berikut :
Bab I            :    Pendahuluan
Bab ini berisi tentang latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penelitian.
Bab 2            :    Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi tinjauan umum tentang kriminologi, tinjauan umum tentang pelanggaran lalu lintas, serta tinjauan umum tentang anak.
Bab 3            :    Metode Penelitian
Bab ini berisi tentang metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode penentuan sampel, metode pengumpulan data, serta metode analisis data.
Bab 4            :    Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini berisi tentang deskripsi objek penelitian, analisis data dan pembahasan.  Dalam bagian ini akan diuraikan tentang pemecahan masalah mengenai kajian kriminologi tentang pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di wilayah hukum Polrestabes Semarang dan kajian kriminologi mengenai tindakan yang harus dilakukan oleh pihak Polrestabes Semarang dalam menghadapi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak.
Bab 5            :    Penutup 
Berisi simpulan yang didasarkan pada pembahasan hasil penelitian dan juga berisi tentang saran sebagai solusi terhadap permasalahan yang dihadapi.
       Dengan sistematika di atas diharapkan dapat membantu mempermudah memahami permasalahan dan pembahasan yang diuraikan dalam skripsi ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.   Tinjauan umum tentang Kriminologi
1.  Pengertian tentang kriminologi
       Kriminologi  adalah “Ilmu pengetahuan yang mempelajari atau mencari sebab musabab kejahatan, sebab-sebab terjadinya kejahatan, akibat–akibat yang ditimbulkan dari kejahatan untuk menjawab mengapa seseorang melakukan kejahatan”.
       Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Topinard seorang ahli antropologi perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat.[1]
       Menurut W.A. Bonger bahwa  kriminologi adalah “ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya”.[2]
       Melalui definisi ini Bonger  lalu membagi kriminologi ini menjadi kriminologi murni yang mencakup :
a)  Antropologi Kriminal
       Adalah ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda seperti apa? Apakah ada hubungan antara suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya.
 b) Sosiologi Kriminal
       Adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok permasalahan yang dibahas dalam ilmu ini adalah sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat.
c)  Psikologi Kriminil
       Ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut     jiwanya.
d) Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminil
        Ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.
e)  Penology
       Adalah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman.
Disamping itu terdapat kriminologi terapan yang berupa:
a)  Higiene Kriminil adalah Usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan, misalnya usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan undang-undang, sistem jaminan hidup dan kesejahteraan yang dilakukan semata-mata untuk  mencegah terjadinya kejahatan.
b)  Politik Kriminil adalah Usaha penanggulangan kejahatan dimana kejahatan telah terjadi. Disini dilihat sebab-sebab orang melakukan kejahatan. Bila disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan keterampilan atau membuka lapangan kerja. Jadi tidak semata-mata dengan penjatuhan sanksi.
c)  Kriminalistik merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan.
       E.H. Sutherland merumuskan kriminologi adalah “sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial (The body of knowledge regarding crime as a social phenomenon)”.[3] Menurut Sutherland, bahwa kriminologi “mencakup proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi atas pelanggaran hukum”, lanjut menurut Sutherland kriminologi dapat dibagi menjadi tiga cabang ilmu utama yaitu:
a) Sosiologi hukum
       Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam    dengan suatu sanksi. Jadi yang menentukan bahwa suatu perbuatan itu adalah kejahatan adalah hukum. Disini menyelidiki sebab-sebab kejahatan harus pula menyelidiki faktor-faktor apa yang menyebabkan perkembangan hukum (khususnya hukum pidana).
b)  Etiologi kejahatan
       Merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab musabab dari  kejahatan. Dalam kriminologi, etiologi kejahatan merupakan kajian yang paling utama.

c) Penology
       Pada dasarnya merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan baik represif maupun preventif.
       E.H. Sutherland mengemukakan bahwa kriminologi adalah “Keseluruhan pengetahuan yang membahas kejahatan sebagai suatu gejala sosial”.[4] Didalam pembahasan ini termasuk proses pembuatan undang-undang, proses-proses ini meliputi tiga aspek yang merupakan suatu kesatuan hubungan-hubungan sebab akibat yang saling berhubungan
       Sedangkan menurut Noach bahwa kriminologi adalah “ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam perilaku jahat dan perbuatan tercela itu”.
       Lanjut Bonger mengemukakan  definisi bahwa kriminologi adalah “sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari, menyelidiki sebab-sebab kejahatan dan gejala-gejala kejahatan seluas-luasnya”. Menurut Bonger, mempelajari kejahatan seluas-luasnya adalah termasuk di dalamnya mempelajari tentang patologi social.[5]
       Menurut Soedjono Dirjosisworo, menguraikan pengertian kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab akibat, perbaikan dan pencegahan sebagai gejala manusia dengan menghimpun sumber-sumber berbagai ilmu pengetahuan, kemudian dapat ditambahkan yang timbul dan gejala-gejala sosial.[6]
2.  Tujuan mempelajari Kriminologi                    
       Tujuan secara umum adalah untuk mempelajari kejahatan dari berbagai aspek, sehingga diharapkan dapat memperoleh pemahaman mengenai fenomena kejahatan dengan lebih baik.
Tujuan secara kongkrit untuk :
a)  Bahan masukan pada membuat Undang-Undang (pembuatan/pencabutan  Undang-Undang).
b)  Bahan masukan bagi aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum dan pencegahan kejahatan non penal terutama Polri.
c)  Memberikan informasi kepada semua instansi agar melaksanakan fungsi-fungsi yang diembannya secara konsisten dan konsekuen untuk mencegah tejadi kejahatan.        
d) Memberikan informasi kepada perusahaan-perusahaan melaksanakan pengamatan internal secara ketat dan teridentifikasi serta melaksanakan fungsi sosial dalam areal wilayah perusahaan yang mempunyai fungsi pengamanan external untuk mencegah terjadi kejahatan.
e)  Memberikan informasi kepada masyarakat pemukiman, tempat- tempat umum untuk membentuk pengamanan swakarsa dalam mencegah terjadi kejahatan.

3.  Teori-teori Kriminologi
       Menurut Williams III dan Marilyn McShane teori kriminologi di klasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu:
a)  Golongan teori abstrak atau teori-teori makro (macro theories). Pada asasnya, teori-teori ini mendisripsikan korelasi antara kejahatan dan struktur masyarakat.
b)  Teori-teori mikro yang bersifat lebih kongkrit. Teori ini ingin menjawab  mengapa seseorang/kelompok dalam masyarakat melakukan kejahatan atau menjadi kriminal.
c)  Bridging Theories yang tidak termasuk kedalam kategori teori makro/mikro dan mendiskripsikan tentang struktur social dan bagaimana seseorang menjadi penjahat.
       Selain teori di atas juga ada 2 bentuk pendekatan yang menjadi landasan bagi lahirnya teori-teori dalam kriminologi sebagaimana menurut Topo Santoso yaitu:
a)  Spiritualisme
       Dalam penjelasan tentang kejahatan, spiritualisme memiliki perbedaan  yang mendasar dengan metode penjelasan kriminologi saat ini. Penjelasan spiritualisme memfokuskan perhatian pada perbedaan antara kebaikan yang datang dari dewa atau tuhan dan keburukan yang datangnya dari setan. Pendekatan spiritual ini menekankan pada kepercayaan bahwa yang benar pasti menang dengan menggunakan kepercayaan ini sehingga segala persoalan yang dihadapi dimasyarakat selalu diselesaikan dengan metode-metode yang mereka yakini sebagai sebuah kebenaran.
b) Naturalisme
       Naturalisme merupakan model pendekatan lain yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Hippocrates menyatakan “The Braind is of The mind” otak adalah organ untuk berpikir. Perkembangan rasionalisme yang muncul dari perkembangan ilmu alam setelah abad pertengahan menyebabkan manusia menjadi model yang lebih rasional dan mampu  dibuktikan secara rasional.
       Wolfgang, Savitz, dan Johnston memberikan definisi kriminologi adalah sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.[7]
       Menurut definisi yang dikemukakan oleh para sarjana dapat disimpulkan objek suatu kriminologi melingkupi :
a)  Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan
b)  Pelaku kejahatan, dan
c)  Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya.
       Ketiganya ini tidak dapat dipisah-pisahkan, suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan bila ia mendapat reaksi dari masyarakat.  Martin L. Haskell dan Lewis Yablonsky menjelaskan bahwa kriminologi sebagai studi ilmiah tentang kejahatan dan penjahat mencakup analisa tentang :
a)  Sifat dan luas kejahatan,
b)  Sebab-sebab kejahatan,
c)  Perkembangan hukum pidana dan pelaksanaan peradilan pidana,
d) Ciri-ciri penjahat,
e)  Pembinaan penjahat,
f)  Pola-pola kriminalitas, dan
g)  Akibat kejahatan atas perubahan sosial.
       Kriminologi merupakan salah satu ilmu pembantu hukum pidana yang membahas masalah kejahatan yang memberikan pemahaman atau menjelaskan kejahatan yang terjadi dengan melihat sudut pandang dari pelaku kejahatan dan cara menanggulanginya.
       Dari uraian di atas memberikan pemahaman yang menjelaskan permasalahan kejahatan dengan mempelajari subjek atau pelaku kejahatan, faktor-faktor terjadinya kejahatan, dan upaya penanggulannya guna menekan terjadinya kasus kejahatan sesuai hukum yang berlaku. Kriminologi juga memberikan gambaran secara jelas tentang pelaku kejahatan atas dampak dari perbuatannya tersebut yang mengakibatkan berbagai macam penderitaan.
B.   Tinjauan umum tentang Pelanggaran Lalu lintas
1.  Pengertian Lalu Lintas Angkutan Jalan
         Pengertian lalu lintas angkutan jalan di dalam undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan dirumuskan tentang pengertian lalu lintas angkutan jalan secara sendiri-sendiri yakni sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Lalu lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolanya”.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di ruang Lalu Lintas Jalan”.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas  Jalan”.
Melihat rumusan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa lalu lintas angkutan jalan adalah gerak pindah orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan dan sarana jalan yang diperuntukkan bagi umum. Kendaraan yang dimaksud adalah meliputi baik kendaraan bermotor maupun kendaraan tidak bermotor.

2.  Pengertian Pelanggaran Lalu Lintas
       Didalam pengertian umum yang diatur oleh UULLAJ (Pasal 1 UU No. 22 Tahun 2009), tidak ditemukan adanya pengertian secara limitative tentang apa  yang dimaksud dengan pelanggaran lalu lintas.
       Menurut Awaloedin  bahwa pelanggaran lalu lintas adalah perbuatan atau tindakan seseorang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 32 (1) dan (2), Pasal 33 (1) huruf a dan b, Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 atau peraturan perundang-undangan yang lainnya.[8]
       Definisi pelanggaran lalu lintas yang dikemukakan oleh Awaloedin tersebut di atas ternyata masih menggunakan rujukan atau dasar perundang-undangan yang lama yakni UU No 14 Tahun 1992 yang telah diganti dengan UU No. 22 Tahun 2009, akan tetapi hal tersebut dapat dijadikan suatu masukan berharga dalam membahas tentang pengertian pelanggaran lalu lintas.
       Istilah pelanggaran dalam hukum pidana, menunjukan adanya suatu perbuatan atau tindakan manusia yang melanggar hukum, melanggar hukum atau Undang-Undang berarti melakukan suatu tindak pidana atau delik.
Tiap delik mengandung dua unsur :
       Unsur melawan hukum. Unsur kesalahan Bila mana di lihat dari cara terjadinya delik itu dapat digolongkan kedalam 2 golongan, yaitu : Delik yang dilakukan dengan sengaja (dolus), Delik yang dilakukan dengan kealpaan (culpa).
       Yang dimaksud dengan pelanggaran adalah perbuatan atau perkara melanggar. Atau dengan kata lain pelanggaran adalah tindak pidana yang lebih ringan daripada kejahatan, sedangkan yang dimaksud dengan melanggar adalah melewati atau melalui dengan tidak sah, menubruk, menabrak, menyalahi, melawan. Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi pelanggaran yaitu pelanggaran lalu lintas adalah suatu perbuatan atau perkara melewati, melalui dengan tidak sah, menabrak, menyalahi, melawan, yang berhubungan dengan arus bolak-balik, hilir mudik atau perjalanan dijalan, perhubungan antara satu tempat dengan tempat yang lain dengan menggunakan kendaraan bermotor.
       Berbagai jenis kenakalan anak yang mengarah kepada pelanggaran norma-norma sosial merupakan tindakan amoral karena dipengaruhi oleh motivasi dan dorongan emosi, ingin dikenal atau menonjolkan diri serta pelampiasan kekecewaan. Bahkan sesungguhnya terkucil dari lingkungan keluarga dan masyrakat.
       Tindakan kejahatan dan pelanggaran diancam hukuman pidana berdasarkan jenis kejahatan tertentu yang dilakukan anak. Tindakan pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan karena pengaruh sikap mental, desakan emosi atau pengaruh lainya tanpa memikirkan resiko yang dihadapi. Lalu lintas adalah (berjalan) bolak-balik, hilir mudik, perihal perjalanan di jalan, perhubungan antara satu tempat ketempat yang lain. Lalu lintas dan angkutan jalan yang mempunyai karakteristik dan keunggulan tersendiri perlu dikembangkan dan dimanfaatkan sehingga mampu menjangkau seluruh wilayah pelosok daratan dengan mobilitas tinggi dan mampu memadukan moda transportasi lain. Pengembangan lalu lintas dan angkutan jalan yang ditata dalam satu kesatuan sistem, dilakukan dengan mengintegrasikan dan mendinamisasikan unsur-unsurnya yang terdiri dari jaringan transportasi jalan, kendaraan beserta pengemudinya, serta peraturan-peraturan, prosedur dan metode sedemikian rupa sehingga terwujud suatu totalitas yang utuh, berdaya guna dan berhasil guna.
       Mengingat penting dan srategisnya peranan lalu lintas dan angkutan jalan yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka lalu lintas dan angkutan jalan dikuasai oleh negara yang pembinaanya dilakukan oleh pemerintah. Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang mengusai hajat hidup orang banyak, maka lalu lintas dan angkutan jalan dikuasai oleh Negara yang pembinaanya dilakukan oleh pemerintah. Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan, sekaligus dalam rangka mewujudkan sistem transportasi nasional yang handal dan terpadu.
       Sebagaimana diketahui bahwa masalah kenakalan anak membawa dampak negatif terutama tindakan atau perbuatan yang menggangu ketertiban dan keamanan khususnya dalam lalu lintas. Tindakan anak ini umumnya bertentangan dengan norma-norma sosial serta ketentuan hukum yang berlaku di masyarakat. Berbagai pelanggaran tersebut sewajarnya masih merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum dalam menangani permasalahan ini. Untuk itu perlu diambil langkah-langkah yang tepat, cepat dan terkendali serta terkoordinasi dengan berbagai pihak agar usaha pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak ini dapat teratasi.
       Majunya ilmu pengetahuan dibidang teknik akan menambah jumlah kendaraan bermotor dan makin ramainya jalan oleh para pemakai jalan terutama yang mempergunakan kendaraan bermotor menyebabkan pesatnya arus lalu lintas di jalanan. Simpang siurnya lalu lintas di jalanan setiap hari bertambah terus sehingga segala akibat yang ditimbulkan oleh ramainya lalu lintas itu akan mempunyai efek juga bagi masyarakat.
       Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor seperti sepeda motor dan mobil dengan berbagai macam ragamnya dan mereknya, berarti juga pengemudinya menunjukan kenaikan yang pesat. Sedangkan kendaraan seperti sepeda onthel atau gerobak makin lama makin menghilang/berkurang dan bukan tidak mungkin akan ditinggalkan. Dengan bertambahnya lalu lintas di jalan itu menyebabkan jalan-jalan semakin padat dan kelihatan semakin sempit, oleh karena itu harus diadakan pelebaran jalan.  Dengan simpang siurnya kendaraan di jalan raya itu membuktikan bahwa rohani manusia yang berkomunikasi dengan kendaraan makin banyak. Jadi pada prinsipnya manusialah yang paling banyak mempergunakan jalan atau menjadi pemakai jalan yang utama, yaitu manusia yang dalam tingkatan rohani dan jasmani juga tentang pengetahuan peraturan lalu lintas pada umunya dapat dikatakan kurang cukup.
       Mereka pada umunya kurang menyadari akan bahaya yang mungkin timbul atas dirinya atau diri orang lain jika mereka sudah meginjakan kakinya di jalan. Di jalan sering terjadi peristiwa yang menimbulkan bahaya dan malapetaka yang akan menimpa jiwa dan harta. Janganlah hendaknya beranggapan bahwa peraturan lalu lintas hanya merupakan beban atau penghambat bagi para pemakai jalan. Pesatnya perhubungan yang memakai kendaraan bermotor memerlukan banyak peraturan yang diperlukan untuk ketertiban hubungan lalu lintas itu. Semua bentuk lalu lintas itu mempunyai pengaturan hukum tersendiri.
       Adapun pengaturan yang mengatur tentang lalu lintas ini yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menggantikan Undang-Undang nomor 14 tahun 1992. Dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 ini adalah untuk ketertiban, keamanan, dan kelancaran jalanya lalu lintas demi mewujudkan pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana di amanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun tujuan dari berlalu lintas menurut Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 sebagai berikut:
“Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa”.
       Dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini adalah agar masyarakat dapat mengetahui dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku dalam undang-undang ini, mengingat begitu banyaknya revisi peraturan dalam undang-undang yang baru ini. Semua peraturan yang di keluarkan ini agar dapat menjaga ketertiban, keamanan, dan kelancaran jalanya lalu lintas kendaraan bermotor di jalan raya. Maksud dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini karena undang-undang lalu lintas yang lama itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman terutama karena pesatnya perkembangan kemajuan teknik dibidang pengangkutan di jalan raya. Setiap orang dianggap/diwajibkan mengetahui undang-undang dan peraturan-peraturan, akan tetapi hanya sebagian kecil saja dari penduduk yang mengerti terutama mengenai peraturan lalu lintas yaitu hanyalah pengemudi kendaraan bermotor yang telah menempuh ujian ketika hendak mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM). Bilamana terjadi suatu pelanggaran peraturan lalu lintas, maka terlebih dahulu haruslah diingat bahwa segala peraturan lalu lintas jalan berisikan 2 (dua) kategori ketentuan yaitu yang merupakan perintah dan larangan.
       Dalam hal pelanggaran peraturan lalu lintas tidaklah memperhatikan apakah tindakan itu dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan. Karena seorang pengemudi kendaraan bermotor yang pada waktu mengendarai kendaraanya di jalan umum tertangkap oleh polisi karena dia tidak membawa surat izin mengemudi (SIM) karena tertinggal di rumah, tetapi dalam hal pelanggaran lalu lintas tetap dipersalahkan. 
       Masalah lupa atau ketinggalan disini adalah suatu kealpaan (culpa). Tetapi dalam peraturan lalu lintas kealpaan ini tidak diperhatikan. Akibat dari pelanggaran lalu lintas ini dapat merugikan harta benda, misalnya dengan rusaknya kendaraan itu sendiri, bahkan dapat pula merenggut jiwa orang lain maupun jiwa dari pada pengemudi itu sendiri, tetapi ada juga pelanggaran yang tidak dapat menimbulkan kerugian apa-apa, dan jenis pelanggaran yang terakhir inilah yang paling sering terjadi.
       Akibat dari pada jenis pelanggaran lalu lintas yang terakhir ini hanyalah dirasakan oleh si pengemudi atau pemilik kendaraaan itu sendiri, misalnya terhadapnya dijatuhi hukuman denda atau hukuman kurungan sebagai pengganti apabila denda itu tidak dibayar. Dalam hal terjadi kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh kealpaan, sehingga terjadi palanggaran Pasal-Pasal dalam Kitab Undang-Undang hukum pidana (KUHP) terutama Pasal 359 dan 360, disebabkan pengemudi tidak memperhatikan kepetingan umum, misalnya melarikan kendaraanya dengan kecepatan yang tinggi, membawa muatan orang atau barang lebih dari pada apa yang telah ditetapkan atau karena kurang memperhatikan keadaan alat-alat dari kendaraan yang dikemudinya. Kita sering menggunakan perkataan kecelakaan lalu lintas. Akan tetapi apakah yang diartikan dengan kecelakaan lalu lintas itu, apakah tiap kecelakaan yang terjadi dijalan termasuk kecelakaan lalu lintas.
       Penetapan arti ini adalah penting untuk dijadikan pegangan bagi para pemeriksa kecelakaan lalu lintas dan juga bagi pencatatan mengenai banyaknya kecelakaan yang terjadi. 
3.  Dasar Hukum Pelanggaran Lalu Lintas
       Dalam Pasal 316 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dapat kita ketahui pasal-pasal mana yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran lalu lintas.
Pasal 316 ayat (1) adalah :
“Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 274, Pasal 275 ayat (1), Pasal 276, Pasal 278, Pasal 279, Pasal 280, Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 284, Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, Pasal 296, Pasal 297, Pasal 298, Pasal 299, Pasal 300, Pasal 301, Pasal 302, Pasal 303, Pasal 304, Pasal 305, Pasal 306, Pasal 307, Pasal 308, Pasal 309, dan Pasal 313 adalah pelanggaran”.

       Pelanggaran lalu lintas yang dilakukan dengan sengaja maupun dengan kealpaan, diharuskan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan karena kesengajaan atau kealpaan merupakan unsur kesalahan, yang terdapat dalam Pasal 316 (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 yang diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut :


Pasal 274 :
(1)   Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi jalan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28 (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000.00 (dua puluh empat juta rupiah).
(2)   Ketentuan ancaman pidana sebgaimana dimaksudkan pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan sebagimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2).

Pasal 275 ayat (1) :
(1)   Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, fasilitas pejalan kaki, dan alat pengaman pengguna jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 (2) dipidana dengan kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 276 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor umum dalam trayek tidak singgah diterminal sebagai mana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 278 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih di jalan yang tidak dilengkapi dengan perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda, dan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan sebgaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 279 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bemotor di jalan yang dipasangi perlengkapan yang dapat menggangu keselamatan lalu lintas sebagimana dimaksud dalam Pasal 58 dipidana dengan kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 280 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak di pasangi tanda nomor kendaraan bermotor yang ditetapkan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dipidana dengan kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 281 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak memiliki surat izin mengemudi sebagimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Pasal 282 :
Setiap pengguna jalan yang tidak mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 283 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 284 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00(lima ratus ribu rupiah).

Pasal 285 :
(1)   Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor di jalan yang tidak mematuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban sebagimana dimaksud pada Pasal 106 ayat (3) jo. Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(2)   Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih di jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu mundur, lampu tanda batas dimensi badan kendaraan, lampu gandengan, lampu rem, lampu petunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, kedalaman alur ban, kaca depan, spakbor, bumper, penggandengan, penempelan, atau pengahapus kaca sebagimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) jo. Pasal 48 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 286 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih di jalan yang tidak memenuhi persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) jo. Pasal 48 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 287 :
(1)   Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan rambu lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau marka jalan sebagimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(2)   Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas sebagimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (4) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling bayak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(3)   Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang melanggar aturan gerakan lalu lintas sebagimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf d atau tata cara berhenti dan parkir sebagimana ketentuan  dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf e dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(4)   Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi kendaraan bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 106, ayat (4) huruf f, atau Pasal 134 pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(5)   Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan yang melanggar aturan batas kecepatan paling tinggi atau paling rendah sebagimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf g atau Pasal 115 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(6)   Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang melanggar aturan tata cara penggandengan kendaraan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf h dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 288 :
(1)   Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak dilengkapi dengan surat bermotor di jalan yang tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf a pidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(2)   Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan dan/atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(3)   Setiap orang yang mengemudikan mobil penumpang umum, mobil, bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang tidak dilengkapi dengan surat keterangan uji berkala dan tanda lulus uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 289 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor atau penumpang yang duduk disamping pengemudi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan sebagimana yang dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).



Pasal 290 :
Setiap orang yang mengemudikan dan penumpang kendaraan bermotor selain sepeda motor yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah dan tidak mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (7) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 291 :
(1)   Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tidak mengenakan helm Standar Nasional Indonesia sebagimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(2)   Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor yang membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 293 :
(1)   Setiap orang yang mengemudi kendaraan bermotor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagimana dimaksud dalam pasal 107 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(2)   Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).

Pasal 294 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang akan membelok atau berbalik arah, tanpa memberikan isyarat dengan lampu petunjuk arah atau isyarat tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).





Pasal 295 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping tanpa memberikan isyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 296 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor pada perlintasan antara kereta api dan jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 297 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor berbalapan di jalan sebagimana dimaksud dalam Pasal 115 huruf b dipidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 298 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan darurat di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 299 :
Setiap orang yang mengendarai kendaraan bermotor yang dengan sengaja berpegang pada kendaraan bermotor untuk ditarik, menarik benda-benda yang dapat membahayakan pengguna jalan lain, dan/atau menggunakan jalur jalan kendaraan sebagimana dimaksud dalam Pasal 122 huruf a, huruf b, atau huruf c dipidana dengan kurungan paling lama 15 hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).



Pasal 300 :
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang :
a.     Tidak menggunakan jalur yang telah di tentukan atau tidak menggunakan jalur paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah sebagimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf c.
b.    Tidak memperhatikan kendaraannya selama menaikkan dan/atau menurunkan penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf d;atau
c.     Tidak menutup pintu kendaraan selama kendaraan berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf e.

Pasal 301:
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor angkutan barang yang tidak menggunakan jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua  ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 302 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor umum angkutan orang yang tidak berhenti selain di tempat yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang selaian di tempat pemberhentian atau melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek sebagimana dimaksud dalam Pasal 126 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 303 :
Setiap orang yang mengemudikan mobil barang untuk mengangkut orang kecuali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf c dipidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 304 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan angkutan orang dengan tujuan tertentu yang menaikkan atau menurunkan penumpang lain disepanjang perjalanan atau menggunakan kendaraan angkutan tidak sesuai dengan angkutan untuk keperluan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 305 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang mengangkut barang khusus yang tidak memenuhi ketentuan tentang persyaratan keselamatan, pemberian tanda barang, parkir, bongkar dan muat, waktu operasi dan rekomendasi dari instansi terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 306 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan angkutan barang yang tidak dilengkapi surat muatan dokumen perjalanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 307 :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor angkutan umum barang yang tidak mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dipidana paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 308 :
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau dipidana denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), setiap orang mengemudikan kendaraan bermotor umum yang :
a.     Tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang dalam trayek sebagaimana di maksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a;
b.    Tidak memiliki izin menyelanggarakan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana di maksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf b;
c.     Tidak memiliki izin menyelenggarkan angkutan barang khusus dan alat berat sebagaimana di maksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c;atau
d.    Menyimpang dari izin yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.



Pasal 309 :
Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya untuk penggantian kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim barang, atau pihak ketiga sebagiamana dimaksud dalam Pasal 189 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

Pasal 313 :
Setiap orang yang tidak mengasuransikan awak kendaraan dan penumpangnya sebagimana yang dimaksud pada Pasal 237 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).


C.   Tinjauan umum tentang Anak
1.  Pengertian tentang anak
a) Pengertian Anak Menurut UUD 1945
       Pengertian anak berdasarkan UUD 1945. Pengertian anak dalam UUD 1945 terdapat di dalam Pasal 34 yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Dengan kata lain anak tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Terhadap pengertian anak menurut UUD 1945 ini, Irma Setyowati Soemitro, SH menjabarkan sebagai berikut, “ketentuan UUD 1945, ditegaskan pengaturannya dengan dikeluarkannya UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang berarti makna anak (pengertian tentang anak) yaitu seseorang yang harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah, maupun sosial. Atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial. Anak juga berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah ia dilahirkan”.[9]
b)  Pengertian Anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
       Pengertian anak berdasarkan UU Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “ Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah ”. Jadi dalam hal ini pengertian anak dibatasi dengan syarat sebagai berikut: pertama, anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.
       Dengan demikian di dalam ketentuan hukum pidana telah memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang kehilangan kemerdekaan, karena anak dipandang sebagai subjek hukum yang berada pada usia yang belum dewasa sehingga harus tetap dilindungi segala kepentingan dan perlu mendapatkan hak-hak yang khusus yang diberikan oleh negara atau pemerintah. Jadi dari berbagi defenisi tentang anak di atas sebenarnya dapatlah diambil suatu benang merah yang menggambarkan apa atau siapa sebenarnya yang dimaksud dengan anak dan berbagai konsekwensi yang diperolehnya sebagi penyandang gelar anak tersebut.
c)  Pengertian Anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
       Pengertian anak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 masih sama dengan pengertian anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Namun terdapat beberapa perubahan dan perkembangan, khususnya dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru disahkan oleh Presiden bersama DPR pada akhir bulan Juli 2012 dibanding dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Tujuannya adalah untuk semakin efektifnya perlindungan anak dalam sistem peradilan demi terwujudnya sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal justice system). 
2.  Pengertian umum tentang Kenakalan Anak
       Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang kenakalan anak terlebih dahulu dikemukakan pengertian anak itu sendiri sehingga terdapat kesamaan pandangan.
       Kenakalan anak pada dasarnya adalah merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Anak-anak yang delinkuen atau jahat itu disebut pula anak cacat secara sosial. Mereka cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di tengah masyarakat.
       Juvenile berasal dari bahasa latin juvenilis, artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja. Delinquent berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, dan penteror.[10]
       Di Indonesia, Kriteria anak mendapat tanggapan beberapa ahli. Seperti misalnya Yulia D. Gunarsa mengemukakan pendapatnya tentang batas-batas usia anak,  remaja dan dewasa bertitik tolak pada batas usia remaja yang dinyatakan sebagai berikut:
“Anak merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa remaja yakni antara 6 sampai 17 tahun.’’[11]
       Batasan yang diajukan dalam menelaah mengenai pengertian anak/remaja, berdasarkan dari pendapat pakar-pakar psikologi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak) menyebutkan bahwa pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga dalam batasan konsep penulisan hukum ini adalah bagi anak/remaja dalam rentang usia antara 13-21 tahun.[12]
       Perkembangan usia anak hingga dewasa dapat diklasifikasikan menjadi empat yaitu :
a)  Anak, seorang yang berusia di bawah 12 tahun.
b)  Remaja dini, seorang yang berusia 12 – 15 tahun.
c)  Remaja penuh, seorang yang berusia 15 – 17 tahun.
d) Dewasa muda, seorang yang berusia 17-21 tahun.
e)  Dewasa, seorang berusia di atas 21 tahun.
       Menurut pendapat Kartini Kartono Mayoritas juvenile delinquency berusia dibawah 21 tahun. Angka tertinggi tindak kejahatan ada pada usia 15-19 tahun, dan sesudah umur 22 tahun, kasus kejahatan yang dilakukan oleh geng-geng delinkuen jadi menurun.[13]
       Menurut Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.3 Tahun 1997, nampaknya belum dewasa itu sama pengertiannya ketika umurnya belum mencapai 18 tahun. Oleh karena itu seorang yang melakukan dan berbuat kesalahan, hingga batas usia tersebut hakim dapat memutuskan salah satu dari tiga kemungkinan berikut ini, yaitu :
a)  Anak itu dikembalikan pada orang tua atau walinya, dengan tidak dijatuhi hukuman suatu apapun.
b)  Anak itu dijadikan anak negara, maksudnya tidak dijatuhi hukuman, akan tetapi akan diserahkan kepada rumah pendidikan anak-anak nakal untuk mendapatkan didikan dari negara sampai anak itu berumur 18 tahun, hal ini hanya dapat dilakukan bila anak itu telah berbuat suatu kejahatan atau pelanggaran yang termaksud dalam pasal ini dan sebagai residive.
c)  Anak itu dijatuhi hukuman seperti biasa. Dalam hal ini ancaman hukumannya paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
                   Setiap anak pelaku tindak pidana yang termasuk sistem peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya, serta penghargaan terhadap pendapat anak.




BAB III
METODE PENELITIAN

A.   Metode Pendekatan
       Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, mengingat permasalahan yang diteliti dan dikaji berpegang pada aspek yuridis yaitu berdasarkan pada teori-teori hukum dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka.[14]

B.   Spesifikasi Penelitian
       Untuk mendekati pokok permasalahan penelitian, digunakan penelitian deskriptif analitis yaitu melukiskan keadaan masalahnya tanpa maksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum, berdasarkan kajian kriminologi.

C.   Metode Penentuan Sampel
       Metode penentuan sampel yang digunakan adalah teknik nonrandom sampling dengan memakai purposive sampling yaitu teknik pengumpulan data yang pengambilan subjeknya didasarkan pada tujuan tertentu terlebih dahulu berdasarkan objek yang diteliti.

D.   Metode Pengumpulan Data
       Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan studi lapangan.
1.  Studi kepustakaan
       Studi kepustakaan merupakan cara memperoleh data secara tidak langsung dari objek penelitian yaitu dalam bentuk mempelajari literatur, peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan hukum lain yang erat kaitanya dengan analisis yuridis terhadap pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak, dan data yang penulis pakai adalah data sekunder yang dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi[15]  :
a)  Bahan hukum primer, yaitu :
1)  Undang-Undang Dasar 1945;
2)  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3)  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
4)  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
5)  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
b)  Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder diambil dari :
1)  Literatur, buku-buku dan makalah-makalah yang relevan dengan judul.
2)  Tulisan dan penelitian yang terdahulu tentang penegakan lalu lintas yang berkaitan dengan pelanggaran lalu lintas.
3) Bahan hukum tersier
Bahan hukum yang memberikan petunjuk atas bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.
2.  Studi lapangan
Studi lapangan dengan cara wawancara dengan Kasatlantas Polrestabes Semarang yang dilakukan secara terstruktur menggunakan pedoman wawancara untuk memperoleh data mengenai Pelanggaran Lalu lintas yang dilakukan oleh anak di Kota Semarang.

e.    Metode Analisis Data
       Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut: Sebelum menganalisis data tersebut, terlebih dahulu diadakan pengorganisasian terhadap data sekunder dan data primer yang diperoleh dari para narasumber. Selanjutnya dilakukan klasifikasi secara sistematis untuk memudahkan analisis permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.

BAB IV
PEMBAHASAN

A.   Kajian kriminologi tentang pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di Wilayah Hukum Polrestabes semarang apabila dilihat dari sudut kriminologi
       Berbicara tentang pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak, artinya berbicara tentang kenakalan anak, dimana berbicara tentang kenakalan anak tidak terlepas dari faktor-faktor pendorong atau motifasi sehingga seorang anak melakukan kenakalan/pelanggaran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa yang dimaksud motifasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu. Menurut Romli Atmasasmita bentuk motifasi itu ada dua macam , yaitu : motifasi intrinsik dan ekstrinsik. Motifasi intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai dengan perangsang dari luar, sedangkan motifasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar.[16]

 
Tabel daftar pelanggar lalu lintas dari segi usia 0-15 dan 15-30 tahun
NO
BULAN
USIA PELANGGAR
0-15
16-30
1
Januari 2013
28
1559
2
Februari 2013
47
2497
3
Maret 2013
58
2564
4
April 2013
99
2626
5
Mei 2013
87
3130
6
Juni 2013
61
2188
7
Juli 2013
122
2725
8
Agustus 2013
103
2839
9
September 2013
215
2211
10
Oktober 2013
234
5545
11
Nopember 2013
336
2745
12
Desember 2013
567
5532
13
Januari 2014
107
3452
14
Februari 2014
677
5942
15
Maret 2014
568
3688

Sumber laporan GAKKUM LANTAS SATLANTAS POLRESTABES SEMARANG Januari 2013-Maret 2014.

       Berdasarkan data pelanggaran lalu lintas di atas, tergambar bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh anak,remaja dan dewasa sampai usia 30 tahun dari tahun ke tahun bervariasi. Melihat dari naik turunnya jumlah pelanggar diatas tergambar bagaimana suatu kriminologi mengkaji bahwa suatu pelanggaran tersebut dapat dipengaruhi dorongan dalam diri sendiri dan dorongan dari luar si anak tersebut.
       Faktor pendorong dari dalam diri sendiri adalah sebagai berikut :
1.  Faktor inteligensia
       Inteligensia adalah kecerdasan seseorang. Dalam hal pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak faktor inteligensia ini merupakan salah satu faktor pendukung dimana faktor yang mempengaruhi anak melakukan pelanggaran lalu lintas yaitu : perilaku seseorang tidak disiplin berlalu lintas, peran keluarga, emosional si anak dan pengetahuan. Perilaku seseorang tidak disiplin berlalu lintas yakni tidak mentaati aturan lalu lintas, misalnya pada saaat lampu merah kendaraan dilarang melintas. Dan yang dimaksud peran keluarga disini yaitu seorang anak masih membutuhkan pengawasan dan pemahaman yang lebih mengenai berkendara. Dari sisi emosional yaitu si anak masih belum cukup mengerti aturan dan akibat berlalu lintas sehingga si anak selalu ingin mencoba, dan anak tersebut berani membawa kendaraan di jalan raya. Dari segi pengetahuan si anak juga belum tahu bahayanya berlalu lintas jika tidak sesuai dengan aturan yang ada.


2.  Faktor usia
       Faktor usia adalah faktor yang penting dalam hubungannya dengan sebab-sebab timbulnya kejahatan, tidak terkecuali kenakalan yang dilakukan oleh seorang anak. Secara kriminologi, dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan sejauh mana usia merupakan masalah yang penting dalam kaitan sebab-musabab kenakalan.

Tabel daftar pelanggar lalu lintas ditinjau dari segi pendidikan
NO
BULAN
PENDIDIKAN PELANGGAR
SLTP
SLTA
1
Januari 2013
399
4119
2
Februari 2013
513
4406
3
Maret 2013
211
4430
4
April 2013
497
3801
5
Mei 2013
398
4254
6
Juni 2013
198
2626
7
Juli 2013
144
3289
8
Agustus 2013
118
2425
9
September 2013
215
4286
10
Oktober 2013
542
5136
11
Nopember 2013
985
2200
12
Desember 2013
1941
8541
13
Januari 2014
652
3483
14
Februari 2014
197
5529
15
Maret 2014
210
3521

Sumber laporan GAKKUM LANTAS SATLANTAS POLRESTABES SEMARANG Januari 2013-Maret 2014.
       Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa kisaran usia SLTP adalah 13-15 tahun, SLTA adalah 16-18 tahun. Dengan demikian usia 13-18 tahun adalah usia yang paling rawan terjadinya kenakalan anak, apalagi dalam hal pelanggaran ketertiban. Hal ini menandakan bahwa pada kenyataannya anak di usia 13 tahun yang tergolong usia yang masih belia sudah mampu mengendarai kendaraan bermotor yang sebenarnya belum diperbolehkan.
       Faktor pendorong dari luar adalah sebagai berikut :
1.  Faktor keluarga
       Keluarga merupakan lingkungan sosial yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan, dan didalamnya remaja mendapatkan pendidikan yang pertama dan utama. Oleh karena itu keluarga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak dan jangan pernah memberikan kendaraan kepada si anak sebelum cukup umur karena awal dari kecelakaan adalah pelanggaran.
       Anak berpotensi melakukan pelanggaran lalu lintas tidak terlepas dari adanya dukungan orang tua/keluarga, hal ini dapat dilihat ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya mampu mengendarai kendaraan bermotor di usia yang sangat dini namun tidak memberi pengawasan yang ketat terhadap anak untuk tidak membawa kendaraan bermotor, terlebih lagi orang tua yang dengan sengaja mengajarkan anaknya mengendarai kendaraan bermotor di usia yang sangat dini. Dari sinilah dapat dilihat bahwa anak yang masih dibawah umur masih sangat membutuhkan pengertian dan pengawasan dari keluarga  karena dengan adanya pengawasan dari keluarga maka si anak akan lebih terarah, selain itu keluarga juga mempunyai peranan besar terhadap perkembangan anak itu sendiri, karena jika orang tua tidak mendukung dan menfasilitasi, maka si anak tidak mungkin membawa kendaraan dan melakukan pelanggaran karena kurangnya pengetahuan berlalu lintas.
2.  Faktor Pendidikan dan Sekolah
       Sekolah adalah media atau perantara bagi pembinaan jiwa para anak, atau dengan kata lain sekolah ikut bertanggung jawab terhadap pendidikan anak, baik pendidikan keilmuan maupun pendidikan tingkah laku. Banyaknya atau bertambahnya kenakalan anak secara tidak langsung menunjukkan kurang berhasilnya sistem pendidikan disekolah-sekolah.
       Dalam konteks demikian, sekolah adalah tempat pendidikan anak ke dua setelah lingkungan keluarga/rumah tangga si anak itu sendiri. Selama mereka menempuh pendidikan disekolah, terjadi interaksi antara anak dan sesamanya, interaksi yang mereka lakukan disekolah sering menimbulkan efek samping yang negative terhadap perkembangan mental si anak sehingga anak menjadi delikuen.
       Peran sekolah juga tidak kalah pentingnya dalam hal memberikan izin untuk membawa kendaraan ke sekolah, dan dari pihak keluarga juga mestinya mendukung dan ikut saling mengawasi perilaku si anak. Karena dalam Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009 telah dijelaskan secara eksplisit bahwa batasan seseorang untuk mengendarai kendaraan bermotor harus/telah berusia 17 tahun dan memiliki Surat Ijin Mengemudi.
3.  Faktor Pergaulan Anak
       Harus disadari betapa besar pengaruh lingkungan terhadap anak, terutama dalam konteks kultural atau kebudayaan lingkungan tersebut. Anak menjadi delikuen karena banyak dipengaruhi oleh berbagai tekanan pergaulan yang semuannya memberikan pengaruh yang menekan dan memaksa pada pembentukkan perilaku yang buruk, sebagai produknya para anak tadi suka melanggar peraturan, norma sosial dan hukum formal. Para anak menjadi delikuen/jahat sebagi akibat dari transformasi psikologis sebagai reaksi terhadap pengaruh eksternal yang menekan dan memaksa sifatnya. Karena itu semakin luas anak bergaul semakin intensif relasinya dengan anak nakal, akan menjadi semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi deferensial tersebut dan semakin besar pula kemungkinan anak tadi benar-benar menjadi nakal.
       Adapun anak dapat mengendarai kendaraan bermotor karena pengaruh dari teman-temannya, hal ini berarti pergaulan anak menjadi salah satu faktor penyebab anak menjadi berani membawa kendaraan bermotor diusianya yang masih dini dan berpotensi membuat anak tersebut melakukan pelanggaran lalu lintas. Dalam hal ini contohnya balapan liar, melanggar lalu lintas dan cenderung tidak menggunakan alat kelengkapan berkendara.

B.   Upaya yang telah dilakukan oleh pihak Polrestabes Semarang dalam menghadapi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak dilihat dari sudut krminologi.
       Polisi lalu lintas adalah unsur pelaksana yang bertugas menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan, pengawalan dan patroli, pendidikan masyarakat dan rekayasa lalu lintas, registrasi dan identifikasi pengemudi kendaraan bermotor, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum dalam bidang lalu lintas, guna memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas.
       Pelayanan kepada masyarakat di bidang lalu lintas dilaksanakan juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, karena dalam masyarakat yang modern lalu lintas merupakan faktor utama pendukung produktifitasnya. Dan dalam lalu lintas banyak masalah atau gangguan yang dapat menghambat dan mematikan proses produktifitas masyarakat. Seperti kecelakaan lalu lintas, kemacetan maupun tindak pidana yang berkaitan dengan kendaraan bermotor.
       Perkembangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang semakin  meningkat berdampak pada sarana dan prasarana pendukung moda transportasi yang berimplikasi terhadap timbulnya permasalahan lalu lintas yang semakin kompleks. Pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor berkembang dengan pesat bila tidak diimbangi panjang jalan yang memadai, ketrampilan berkendara dan disiplin berlalu lintas bagi pemakai kendaraan bermotor dan pengguna jalan lainnya berakibat pada tingginya pelanggaran lalu lintas dan tingkat kecelakaan lalu lintas menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan.
       Keamanan dan keselamatan di jalan merupakan harapan semua pengguna jalan. Lalu lintas merupakan urat nadi bagi tumbuh dan berkembangnya masyarakat. Demikian halnya kualitas hidup masyarakat untuk dapat tumbuh dan berkembang sangat dipengaruhi faktor lalu lintas. Polri sebagai Aparat Negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, pelindung pengayom dan pelayan masyarakat dalam pelaksanaan tugasnya khususnya Polantas sebagai institusi Kepolisian yang menangani masalah–masalah lalu lintas berupaya mewujudkan dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas.
       Dalam upaya menekan dan memecahkan berbagai masalah lalu lintas telah dilakukan secara persuasif, edukatif dengan himbauan-himbauan baik melalui media elektronik maupun cetak serta melalui pencegahan bahkan pada upaya penegakan hukum yang telah dilaksanakan belum membuahkan hasil yang optimal.  Masalah lalu lintas bukan semata-mata tanggung jawab Polantas sendiri tetapi merupakan hubungan fungsional, saling terkait dan bersama-sama antar stakeholders (pemangku kepentingan) dan masyarakat.
       Sesuai dengan misi Polantas adalah melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat melalui kegiatan Pendidikan Masyarakat lalu lintas, penegakan  hukum  lalu  lintas, pengkajian masalah lalu lintas, registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi di jalan. Pada bagian pengkajian masalah lalu lintas merupakan salah satu upaya membangun kemitraan dan membangun kesadaran berlalu lintas para pengguna lalu lintas diantaranya dengan melakukan berbagai upaya pencegahan kecelakaan lalu lintas.
       Untuk itu berbagai upaya dalam menekan kecelakaan lalu lintas sangat dibutuhkan juga diperlukannya berbagai program yang dapat digunakan   sebagai   sarana   koordinasi   kepada  instansi terkait lainnya sehingga dapat terciptanya kesadaran dan kedisiplinan berlalu lintas dalam rangka mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan umum.
       Polisi lalu lintas bertugas menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan, pengawalan dan patroli, pendidikan masyarakat dan rekayasa lalu lintas, Registrasi dan identifikasi pengemudi kendaraan bermotor, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum dalam bidang lalu lintas, guna memelihara keamanan , ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Pelayanan kepada masyarakat di bidang lalu lintas dilaksanakan juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, karena dalam masyarakat yang modern lalu lintas merupakan faktor utama pendukung produktivitasnya. Dan dalam lalu lintas banyak masalah atau gangguan yang dapat menghambat dan mematikan proses produktivitas masyarakat. Seperti kecelakaan lalu lintas, kemacetan maupun tindak pidana yang berkaitan dengan kendaraan bermotor. Untuk itu polisi lalu lintas juga mempunyai visi dan misi yang sejalan dengan bahasan Polri di masa depan.
       Kemajuan sektor transportasi, dengan segala sarana dan prasarana teknologi pendukung yang ada, merupakan sarana sangat vital dalam kehidupan modern yang semakin berkembang saat ini, untuk memudahkan kita akses ke berbagai sumberdaya yang ada. Namun, pilihan-pilihan atas moda transportasi ini haruslah memberikan jaminan bagi keselamatan hidup manusia, menempatkan keselamatan di atas segalanya. Pembangunan berdimensi manusia (human development), disertai dengan teknologi transportasi berwajah manusiawi, haruslah menjadi kepedulian kita bersama.
       Upaya-upaya yang telah dilakukan pihak Polrestabes Semarang antara lain pre-emtif, preventif, dan represif. Ketiganya diuraikan sebagai berikut :
1. Pre-emtif
       Upaya Pre-emtif disini adalah upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana, sebagaimana hasil penelitian penulis, dalam wawancara terhadap salah seorang polisi anggota Polrestabes Semarang sebagai aparat hukum mengenai upaya kepolisian menanggulangi terjadinya pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak.
       Brigadir Ali Arwani mengatakan bahwa upaya yang dilakukan adalah dengan cara melaksanakan seminar, sosialisasi di sekolah-sekolah, melalui ceramah, penyuluhan guna memberikan pemahaman etika berlalu lintas diusia dini.[17] Menurut penulis upaya yang dilakukan polisi tersebut merupakan upaya pencegahan yang baik untuk anak diusia dini, dimana upaya tersebut merupakan upaya untuk menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut mendarah daging dalam diri seseorang, sehingga meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran/kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka hal itu tidak akan terjadi.
2. Preventif
       Preventif adalah tindak lanjut dari upaya pre-emtif. Dalam upaya pre-emtif yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya kejahatan. Dalam hal ini keberadaan polisi pada setiap pos keamanan yang berada di jalan-jalan sangatlah efektif dalam hal menutup kesempatan bagi para anak yang belum memiliki surat-surat untuk dapat membawa kendaraan bermotor di jalan. Selain itu juga dilakukan pengawasan dengan cara swiping.
       Brigadir Ali Arwani mengatakan bahwa sweeping biasanya dilakukan pada saat ada penugasan dari atasan, yaitu dilakukan pada saat ramadhan (oprasi ketupat), pada saat natalan (oprasi lilin), (oprasi simpatik) setiap 6 bulan sekali dan sweeping rutin (oprasi patuh).[18]
       Dari sini sebenarnya sudah dapat dilihat bahwa dengan adanya jadwal sweeping yang sedemikian rupa seharusnya sudah tidak ada lagi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak karena dengan penjagaan yang ketat anak tidak akan berani untuk mengendarai kendaraan di jalan-jalan.
3. Represif
       Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadinya tindak pidana atau kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum dengan menjatuhkan hukuman. Dalam hal ini apabila polisi menemukan anak yang membawa sepeda motor maka polisi akan memberikan tilang terhadap anak tersebut.
       Brigadir Ali Arwani mengatakan bahwa dengan melaksankan sisoalisasi di sekolah-sekolah, melakukan penindakan dengan tilang apabila menemukan pelanggaran kepada anak yang menggunakan sepeda motor guna memberikan efek jera sehingga si anak tidak mengulangi lagi. Dengan diadakannya sosialisasi disekolah maka akan memberikan pengetahuan lebih awal sehingga anak lebih tahu dan memahami arti penting saat berlalu lintas. Sedangkan dengan cara tilang, anak tersebut akan tahu bahwa sebenarnya belum diperbolehkan untuk berkendara karena belum cukup umur dan belum tahu betul akibat jika berlalu lintas tidak sesuai dengan aturan, tilang tersebut merupakan upaya penanggulangan yang paling efektif. Adapun ketika anak menggunakan sepeda motor dengan kecepatan tinggi dengan sengaja untuk menghindari petugas polisi maka polisi juga dapat menindaki anak tersebut dengan cara mengejar anak tersebut.[19]
       Adapun menurut Achmad Ruslan faktor-faktor yang menjadikan peraturan itu efektif atau tidak, dapat dikembalikan kepada empat factor efektifitas yaitu[20] :
a.  Kaidah Hukum Atau Peraturan Itu Sendiri
Dalam hal ini apakah secara kuantitatif dan kualitatif peraturan yang mengatur mengenai lalu lintas sudah cukup. Dari peraturan perundang-undangan yang ada tentang peraturan lalu lintas dan Angkutan jalan yang terbaru yakni tahun 2009 menjadikan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lalu lintas menjadi komplit dan sesuai dengan kondisi masa kini.
b.  Petugas Yang Menegakkannya
Petugas penegak hukum memiliki peranan yang sangat penting, karena walaupun peraturannya sudah baik tetapi penegak hukum kurang baik maka akan timbul masalah. Demikian pula sebaliknya jika peraturannya kurang baik tetapi petugas penegakknya baik dapat pula menimbulkan masalah. Dalam hal ini meskipun peraturan mengenai lalu lintas sudah sangat baik tapi petugas penegak hukum tidak melaksakan tugas dan wewenangnya dengan baik maka potensi pelanggaran lalu lintas akan selalu ada. Dari hasil penelitian penulis hal ini benar adanya karena peraturan mengenai lalu lintas yang tertuang dalam Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah sangat baik. Namun pelanggaran lalu lintas masih tetap saja rawan terjadi hal ini tidak terlepas dari peranan penegak hukum yang tidak begitu tegas atau tidak maksimal dalam menjalankan tugasnya.
c.  Fasilitas
Fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan penegakan hukum yang ruang lingkupnya terutama berupa sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung, misalnya kertas, tinta, kendaraan, computer dan sebaginya. Dalam hubungan ini kerap kali suatu peraturan sudah diperlukan sedang fasilitas yang akan mendukung pelaksanaan peraturan tersebut tersedia. Hal demikian ini dapat terjadi bahwa suatu peraturan diadakan untuk memperlancar proses tetapi karena fasilitas tidak cukup, maka yang akan terjadi adalah justru kemacetan-kemacetan. Seperti halnya, kurang motor patroli dalam hal memperlancar polisi dalam melakukan patroli, pengawasan dan pengejaran apabila ada pelanggar yang mencoba menghindar atau melarikan diri. Dengan demikian fasilitaspun menjadi sangat penting.
d.  Warga Masyarakat Yang Terkena Ruang Lingkup Peraturan Tersebut
Warga masyarakat sebaiknya bisa berkerjasama dengan aparat kepolisian dalam mematuhi segala peraturan yang ada agar tercipta efektifitas hukum sehingga terjadi keseimbangan antara masyarakat dan aparat penegak hukum yang berwenang.



BAB V
PENUTUP

A.   Kesimpulan
1. Kajian kriminologi tentang pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di Wilayah Hukum Polrestabes semarang

2.  Upaya penanggulangan terhadap pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di wilayah hukum Polrestabes Semarang oleh pihak kepolisian adalah dengan melaksanakan sosialisasi di sekolah-sekolah, melalui ceramah, penyuluhan guna memberikan pemahaman etika berlalu lintas di usia dini. Selain itu juga dilakukan pengawasan dengan cara sweeping dalam waktu-waktu tertentu. Adapun upaya yang dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana atau menjatuhkan hukuman. Dalam hal ini apabila polisi menemukan anak yang membawa sepeda motor maka polisi akan memberikan tilang terhadap anak tersebut.
B.   Saran.
1.  Saran penulis adalah dalam memberikan pemahaman berlalu lintas sejak dini lebih ditingkatkan agar pengetahuan si anak lebih cepat dicerna dengan baik karena sudah tertanam dari usia dini. Selain itu faktor keluarga dan sekolah sebaiknya lebih berperan aktif agar anak memahami betul akan pengetahuan berlalu lintas sejak dini tanpa ada pendorong dari luar karena salah pergaulan.
2.  Saran penulis dalam upaya penanggulangan ini adalah dari pihak polisi lebih meningkatkan penjagaan diposko dan lebih tegas dalam menindaki pelanggaran lalu lintas tanpa pandang bulu dan berusaha agar dalam menjalankan tugas lebih maksimal.

 
10.  DAFTAR PUSTAKA
a.  Buku-buku
Achmad, Ruslan. Teori dan Panduan Praktik Pembetukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Yogyakarta : Rangka Education, 2011.

Alam. A. S. Pengantar Kriminologi. Makasar : Penerbit Refleksi, 2010.

Darmawan, M. Kemal, dan Manik Sri Supatmi. Teori Pengendalian Sosial. Jakarta, 2011.

Dirjosisworo, Soejono. Penanggulangan Kejahatan. Bandung : Alumni, 1983

Gunarsa, Singgih D dan Yulia Singgih D Gunarsa. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010.

Kartono, Kartini. Pathologi Sosial. Jakarta : CV. Rajawali, 1998.

Marlina. Peradilan Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Bandung : PT Refika Aditama, 2009.

Romli Atmasasmita. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung : PT Refika Aditama, 2005.

Santoso, Topo dan Eve Achjani Zulva. Kriminologi. Jakarta : P.T Raja Grafindo, 2010.

Sumitro, Rony Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta : Ghalia, 1998.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta : Sinar Grafika, 2002.

b.  Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang  Nomor 22 Tahun 2009 tentang tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan.




[1] Santoso, Topo dan Eve Achjani Zulva, Kriminologi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Jakarta, 2010), halaman 9.
[2] Ibid.
[3] Alam, A.S., Pengantar Kriminologi, (Makasar : Penerbit Refleksi, 2010), halaman 3.
[4] Ibid, halaman 1.
[5] Ibid, halaman 2.
[6] Dirjosisworo, Soejono., Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Alumni,1983), halaman 2
[7] http//:www.wikipedia.com/teori/kriminologi, diakses pada tanggal 14 November 2013. 
[8] Naning Rondlon, Menggairahkan Kesadaran Hukum Masyarakat dan Disiplin Penegak Hukum dan Lalu Lintas, (Jakarta : Bina Ilmu, 1983), halaman 19.
[9] http://andibooks.wordpress.com/definisi-anak/di akses tanggal 14 november 2013
[10] Kartono, Kartini., Pathologi Sosial, (Jakarta : CV. Rajawali, 1998), halaman 6.
[11] Marlina, Peradilan Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, (Bandung : Refika Aditama, 2009), halaman 39.
[13] Kartono, op.cit., halaman 7
[14]Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia, 1998), halaman 34.
[15] Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek,(Jakarta : Sinar Grafika, 2002), halaman 14.
[16] Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (PT Refika Aditama : Bandung, 2005), halaman 46.
[17] Ali Arwani dan Dian Albar, wawancara, Polrestabes Semarang, Maret 2014
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Achmad Ruslan, Teori Dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, (Rangka Education : Yogyakarta, 2011), halaman 71.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar