BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Perkembangan tekhnologi saat ini kian
pesat, salah satunya di bidang transportasi khususnya kendaraan bermotor.
Perkembangan yang pesat itu seharusnya diimbangi dengan sarana lalu lintas
jalan raya. Hal ini dengan tujuan untuk mengatasi jumlah kendaraan yang kian
hari kian membludak. Semakin membludaknya kendaraan di jalan raya sering
menimbulkan pelanggaran lalu lintas. Untuk mengatasi masalah tersebut maka
diperlukan kaidah-kaidah hukum yg tepat untuk mengatasinya.
Kaidah hukum adalah suatu kaidah yang
diperlukan guna mengatasi masalah hukum khususnya pelanggaran lalu lintas.
Dalam kemajuan teknik seperti sekarang ini peranan lalu lintas dianggap
memiliki peran penting. Bukan hanya untuk kemajuan teknik saja tapi juga
berguna bagi kita.
Berbicara tentang lalu lintas maka
rasanya tak lepas dengan adanya kendaraan bermotor. Dari kendaraan bermotor
itulah kita seperti dimanjakan olehnya. Baik dari segi praktis maupun segi
ekonomis. Dengan adanya kendaraan bermotor segala sesuatu dapat kita tempuh
dengan cepat dan mudah. Misalnya kita akan bepergian jauh kita dapat
menggunakan kendaraan bermotor dan jarak yang jauh itu kita dapat tempuh dengan
cepat. Siapapun pasti akan sangat malas ketika seseorang harus pergi jauh tanpa
menggunakan kendaraan bermotor. Bisa kita bayangkan jika tanpa adanya kendaraan
bermotor ? Dari sinilah kita mengerti bahwa kendaraan bermotor memiliki peran
yang vital dalam sendi-sendi kehidupan sehari-hari. Kendaraan bermotor juga
merupakan salah satu poros dalam pemerintahan. Suatu roda pemerintahan agar
berjalan lancar apabila sarana lalu lintas berjalan dengan baik. Dengan semakin
meningkatnya peranan lalu lintas terutama yang menggunakan kendaraan bermotor,
diperlukan peraturan yang efisien untuk mengaturnya guna mencegah timbulnya
suatu pelanggaran lalu lintas.
Pelanggaran lalu lintas merupakan suatu
keadaan dimana terjadi ketidak sesuaian antara aturan dan pelaksanaan. Aturan
dalam hal ini yang dimaksud adalah Undang-Undang yang telah ditetapkan oleh
negara yang berlaku secara sah, sedangkan masyarakat menjadi pelaksananya.
Dalam mengikuti aturan yang tertera dalam pasal – pasal jika tidak sesuai
dengan pasal – pasal tersebut, maka disebut pelanggaran lalu lintas. Pelanggaran
lalu lintas tidak dapat dibiarkan begitu saja karena bersumber dari suatu
pelanggaran tersebut akan timbul kecelakaan lalu lintas, meski juga masih ada
faktor lain yang menyebabkannya.
Dalam rangka menanggulangi pelanggaran
lalu lintas maka dirumuskan suatu peraturan perundang - undangan. Peraturan
yang dimaksud adalah Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan yang di dalamnya berisi pengaturan dan penerapan sanksi bagi
suatu pelanggar. Hal ini dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku
agar tidak terlalu membebani masyarakat.
Bukan rahasia umum lagi bahwa akhir –
akhir ini sering terjadi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak baik
menggunakan kendaraan bermotor, mobil atau sepeda motor di jalan raya maupun jalan tol.
Semakin kompleksnya masalah tersebut,
maka penulis tertarik untuk mengkaji dalam bentuk skripsi dengan judul : KAJIAN
KRIMINOLOGI TENTANG PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK : STUDI
KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRESTABES SEMARANG.
B. Perumusan Masalah
Agar pembahasan dalam tulisan ini tidak
terlalu luas, maka Penulis memberikan batasan pembahasan dengan rumusan sebagai
berikut :
1. Bagaimana
pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di Wilayah Hukum Polrestabes
Semarang apabila dilihat dari sudut kriminologi ?
2. Apa yang
harus dilakukan oleh Polrestabes Semarang dalam menghadapi pelanggaran lalu
lintas yang dilakukan oleh anak apabila dilihat dari sudut kriminologi ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam
tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui kajian kriminologi tentang pelanggaran lalu lintas yang
dilakukan oleh anak di wilayah hukum
Polrestabes semarang.
2. Untuk
mengetahui tindakan yang harus dilakukan Satlantas Polrestabes Semarang dalam
menghadapi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak dari sudut
kriminologi.
Manfaat dari penulisan ini terdiri dari
manfaat teoritis dan manfaat praktis :
1. Secara
teoritis diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan serta
sumbangan dalam pengembangan Ilmu Hukum Pidana Indonesia secara umum, dan
secara khusus untuk Fakultas Hukum Universitas Semarang.
2. Secara
praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan
referensi bagi siapa saja yang membutuhkan khususnya mahasiswa Fakultas Hukum
yang mempelajari tentang Kriminologi.
D. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, Penulis
membagi kedalam 5 bab dengan sub-sub bab yang disusun secara sistematis sebagai
berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab
ini berisi tentang latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penelitian.
Bab 2 :
Tinjauan Pustaka
Bab
ini berisi tinjauan umum tentang kriminologi, tinjauan umum tentang pelanggaran
lalu lintas, serta tinjauan umum tentang anak.
Bab 3 : Metode Penelitian
Bab
ini berisi tentang metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode penentuan
sampel, metode pengumpulan data, serta metode analisis data.
Bab 4 :
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab
ini berisi tentang deskripsi objek penelitian, analisis data dan
pembahasan. Dalam bagian ini akan diuraikan
tentang pemecahan masalah mengenai kajian kriminologi tentang pelanggaran lalu
lintas yang dilakukan oleh anak di wilayah hukum Polrestabes Semarang dan kajian
kriminologi mengenai tindakan yang harus dilakukan oleh pihak Polrestabes
Semarang dalam menghadapi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak.
Bab 5 :
Penutup
Berisi
simpulan yang didasarkan pada pembahasan hasil penelitian dan juga berisi
tentang saran sebagai solusi terhadap permasalahan yang dihadapi.
Dengan sistematika di atas diharapkan
dapat membantu mempermudah memahami permasalahan dan pembahasan yang diuraikan
dalam skripsi ini.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Tinjauan umum tentang Kriminologi
1. Pengertian
tentang kriminologi
Kriminologi adalah “Ilmu pengetahuan yang mempelajari
atau mencari sebab musabab kejahatan, sebab-sebab terjadinya kejahatan, akibat–akibat
yang ditimbulkan dari kejahatan untuk menjawab mengapa seseorang melakukan
kejahatan”.
Nama kriminologi yang ditemukan oleh P.
Topinard seorang ahli antropologi perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau
penjahat dan “logos” yang berarti
ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau
penjahat.[1]
Menurut W.A. Bonger bahwa kriminologi adalah “ilmu pengetahuan yang
bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya”.[2]
Melalui definisi ini Bonger lalu membagi kriminologi ini menjadi kriminologi
murni yang mencakup :
a) Antropologi
Kriminal
Adalah ilmu pengetahuan tentang manusia
yang jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas pertanyaan
tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda seperti apa? Apakah
ada hubungan antara suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya.
b) Sosiologi Kriminal
Adalah ilmu pengetahuan tentang
kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok permasalahan yang dibahas
dalam ilmu ini adalah sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam
masyarakat.
c) Psikologi
Kriminil
Ilmu pengetahuan tentang penjahat yang
dilihat dari sudut jiwanya.
d) Psikopatologi
dan Neuropatologi Kriminil
Ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa
atau urat syaraf.
e) Penology
Adalah ilmu tentang tumbuh dan
berkembangnya hukuman.
Disamping
itu terdapat kriminologi terapan yang berupa:
a) Higiene
Kriminil adalah Usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan,
misalnya usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan
undang-undang, sistem jaminan hidup dan kesejahteraan yang dilakukan
semata-mata untuk mencegah terjadinya
kejahatan.
b) Politik
Kriminil adalah Usaha penanggulangan kejahatan dimana kejahatan telah terjadi.
Disini dilihat sebab-sebab orang melakukan kejahatan. Bila disebabkan oleh
faktor-faktor ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan
keterampilan atau membuka lapangan kerja. Jadi tidak semata-mata dengan
penjatuhan sanksi.
c) Kriminalistik
merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan
kejahatan.
E.H. Sutherland merumuskan kriminologi
adalah “sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan
jahat sebagai gejala sosial (The body of
knowledge regarding crime as a social phenomenon)”.[3]
Menurut Sutherland, bahwa kriminologi “mencakup proses-proses pembuatan hukum,
pelanggaran hukum, dan reaksi atas pelanggaran hukum”, lanjut menurut
Sutherland kriminologi dapat dibagi menjadi tiga cabang ilmu utama yaitu:
a) Sosiologi
hukum
Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh
hukum dilarang dan diancam dengan
suatu sanksi. Jadi yang menentukan bahwa suatu perbuatan itu adalah kejahatan
adalah hukum. Disini menyelidiki sebab-sebab kejahatan harus pula menyelidiki
faktor-faktor apa yang menyebabkan perkembangan hukum (khususnya hukum pidana).
b) Etiologi
kejahatan
Merupakan cabang ilmu kriminologi yang
mencari sebab musabab dari kejahatan.
Dalam kriminologi, etiologi kejahatan merupakan kajian yang paling utama.
c) Penology
Pada dasarnya merupakan ilmu tentang
hukuman, akan tetapi Sutherland memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan
usaha pengendalian kejahatan baik represif maupun preventif.
E.H. Sutherland mengemukakan bahwa
kriminologi adalah “Keseluruhan pengetahuan yang membahas kejahatan sebagai
suatu gejala sosial”.[4]
Didalam pembahasan ini termasuk proses pembuatan undang-undang, proses-proses
ini meliputi tiga aspek yang merupakan suatu kesatuan hubungan-hubungan sebab
akibat yang saling berhubungan
Sedangkan menurut Noach bahwa
kriminologi adalah “ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan perilaku
tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam perilaku jahat dan
perbuatan tercela itu”.
Lanjut Bonger mengemukakan definisi bahwa kriminologi adalah “sebagai
ilmu pengetahuan yang mempelajari, menyelidiki sebab-sebab kejahatan dan
gejala-gejala kejahatan seluas-luasnya”. Menurut Bonger, mempelajari kejahatan
seluas-luasnya adalah termasuk di dalamnya mempelajari tentang patologi social.[5]
Menurut Soedjono Dirjosisworo,
menguraikan pengertian kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
sebab akibat, perbaikan dan pencegahan sebagai gejala manusia dengan menghimpun
sumber-sumber berbagai ilmu pengetahuan, kemudian dapat ditambahkan yang timbul
dan gejala-gejala sosial.[6]
2. Tujuan
mempelajari Kriminologi
Tujuan secara umum adalah untuk
mempelajari kejahatan dari berbagai aspek, sehingga diharapkan dapat memperoleh
pemahaman mengenai fenomena kejahatan dengan lebih baik.
Tujuan
secara kongkrit untuk :
a) Bahan
masukan pada membuat Undang-Undang (pembuatan/pencabutan Undang-Undang).
b) Bahan
masukan bagi aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum dan pencegahan
kejahatan non penal terutama Polri.
c) Memberikan
informasi kepada semua instansi agar melaksanakan fungsi-fungsi yang diembannya
secara konsisten dan konsekuen untuk mencegah tejadi kejahatan.
d) Memberikan
informasi kepada perusahaan-perusahaan melaksanakan pengamatan internal secara
ketat dan teridentifikasi serta melaksanakan fungsi sosial dalam areal wilayah
perusahaan yang mempunyai fungsi pengamanan external untuk mencegah terjadi
kejahatan.
e) Memberikan
informasi kepada masyarakat pemukiman, tempat- tempat umum untuk membentuk
pengamanan swakarsa dalam mencegah terjadi kejahatan.
3. Teori-teori
Kriminologi
Menurut Williams III dan Marilyn McShane
teori kriminologi di klasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu:
a) Golongan
teori abstrak atau teori-teori makro (macro
theories). Pada asasnya, teori-teori ini mendisripsikan korelasi antara
kejahatan dan struktur masyarakat.
b) Teori-teori
mikro yang bersifat lebih kongkrit. Teori ini ingin menjawab mengapa seseorang/kelompok dalam masyarakat
melakukan kejahatan atau menjadi kriminal.
c) Bridging Theories yang tidak termasuk
kedalam kategori teori makro/mikro dan mendiskripsikan tentang struktur social
dan bagaimana seseorang menjadi penjahat.
Selain teori di atas juga ada 2 bentuk
pendekatan yang menjadi landasan bagi lahirnya teori-teori dalam kriminologi
sebagaimana menurut Topo Santoso yaitu:
a) Spiritualisme
Dalam penjelasan tentang kejahatan,
spiritualisme memiliki perbedaan yang mendasar
dengan metode penjelasan kriminologi saat ini. Penjelasan spiritualisme
memfokuskan perhatian pada perbedaan antara kebaikan yang datang dari dewa atau
tuhan dan keburukan yang datangnya dari setan. Pendekatan spiritual ini
menekankan pada kepercayaan bahwa yang benar pasti menang dengan menggunakan
kepercayaan ini sehingga segala persoalan yang dihadapi dimasyarakat selalu
diselesaikan dengan metode-metode yang mereka yakini sebagai sebuah kebenaran.
b) Naturalisme
Naturalisme merupakan model pendekatan
lain yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Hippocrates menyatakan “The Braind is of The mind” otak adalah
organ untuk berpikir. Perkembangan rasionalisme yang muncul dari perkembangan
ilmu alam setelah abad pertengahan menyebabkan manusia menjadi model yang lebih
rasional dan mampu dibuktikan secara
rasional.
Wolfgang, Savitz, dan Johnston memberikan
definisi kriminologi adalah sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan
yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala
kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah
keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman pola-pola dan faktor-faktor
kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi
masyarakat terhadap keduanya.[7]
Menurut definisi yang dikemukakan oleh
para sarjana dapat disimpulkan objek suatu kriminologi melingkupi :
a) Perbuatan
yang disebut sebagai kejahatan
b) Pelaku
kejahatan, dan
c) Reaksi
masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya.
Ketiganya ini tidak dapat
dipisah-pisahkan, suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan
bila ia mendapat reaksi dari masyarakat. Martin L. Haskell dan Lewis Yablonsky
menjelaskan bahwa kriminologi sebagai studi ilmiah tentang kejahatan dan
penjahat mencakup analisa tentang :
a) Sifat dan
luas kejahatan,
b) Sebab-sebab
kejahatan,
c) Perkembangan
hukum pidana dan pelaksanaan peradilan pidana,
d) Ciri-ciri
penjahat,
e) Pembinaan
penjahat,
f) Pola-pola
kriminalitas, dan
g) Akibat
kejahatan atas perubahan sosial.
Kriminologi merupakan salah satu ilmu
pembantu hukum pidana yang membahas masalah kejahatan yang memberikan pemahaman
atau menjelaskan kejahatan yang terjadi dengan melihat sudut pandang dari pelaku
kejahatan dan cara menanggulanginya.
Dari uraian di atas memberikan pemahaman
yang menjelaskan permasalahan kejahatan dengan mempelajari subjek atau pelaku
kejahatan, faktor-faktor terjadinya kejahatan, dan upaya penanggulannya guna
menekan terjadinya kasus kejahatan sesuai hukum yang berlaku. Kriminologi juga
memberikan gambaran secara jelas tentang pelaku kejahatan atas dampak dari
perbuatannya tersebut yang mengakibatkan berbagai macam penderitaan.
B. Tinjauan umum tentang Pelanggaran Lalu lintas
1. Pengertian
Lalu Lintas Angkutan Jalan
Pengertian lalu lintas angkutan jalan
di dalam undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan dirumuskan tentang
pengertian lalu lintas angkutan jalan secara sendiri-sendiri yakni sebagai
berikut:
Pasal
1 ayat (1) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Lalu
lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu
Lintas, Angkutan Jalan, jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta
pengelolanya”.
Pasal
1 ayat (2) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Lalu
Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di ruang Lalu Lintas Jalan”.
Pasal
1 ayat (3) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Angkutan
adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan
menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas
Jalan”.
Melihat
rumusan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
lalu lintas angkutan jalan adalah gerak pindah orang atau barang dari satu
tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan dan sarana jalan yang
diperuntukkan bagi umum. Kendaraan yang dimaksud adalah meliputi baik kendaraan
bermotor maupun kendaraan tidak bermotor.
2. Pengertian
Pelanggaran Lalu Lintas
Didalam pengertian umum yang diatur oleh
UULLAJ (Pasal 1 UU No. 22 Tahun 2009), tidak ditemukan adanya pengertian secara
limitative tentang apa yang dimaksud dengan pelanggaran lalu lintas.
Menurut Awaloedin bahwa pelanggaran lalu lintas adalah
perbuatan atau tindakan seseorang yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan lalu lintas jalan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 32
(1) dan (2), Pasal 33 (1) huruf a dan b, Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 atau
peraturan perundang-undangan yang lainnya.[8]
Definisi pelanggaran lalu lintas yang
dikemukakan oleh Awaloedin tersebut di atas ternyata masih menggunakan rujukan
atau dasar perundang-undangan yang lama yakni UU No 14 Tahun 1992 yang telah
diganti dengan UU No. 22 Tahun 2009, akan tetapi hal tersebut dapat dijadikan
suatu masukan berharga dalam membahas tentang pengertian pelanggaran lalu
lintas.
Istilah pelanggaran dalam hukum pidana,
menunjukan adanya suatu perbuatan atau tindakan manusia yang melanggar hukum,
melanggar hukum atau Undang-Undang berarti melakukan suatu tindak pidana atau
delik.
Tiap
delik mengandung dua unsur :
Unsur melawan hukum. Unsur kesalahan
Bila mana di lihat dari cara terjadinya delik itu dapat digolongkan kedalam 2
golongan, yaitu : Delik yang dilakukan dengan sengaja (dolus), Delik yang dilakukan dengan kealpaan (culpa).
Yang dimaksud dengan pelanggaran adalah
perbuatan atau perkara melanggar. Atau dengan kata lain pelanggaran adalah
tindak pidana yang lebih ringan daripada kejahatan, sedangkan yang dimaksud
dengan melanggar adalah melewati atau melalui dengan tidak sah, menubruk,
menabrak, menyalahi, melawan. Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi pelanggaran
yaitu pelanggaran lalu lintas adalah suatu perbuatan atau perkara melewati,
melalui dengan tidak sah, menabrak, menyalahi, melawan, yang berhubungan dengan
arus bolak-balik, hilir mudik atau perjalanan dijalan, perhubungan antara satu
tempat dengan tempat yang lain dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Berbagai
jenis kenakalan anak yang mengarah kepada pelanggaran norma-norma sosial
merupakan tindakan amoral karena dipengaruhi oleh motivasi dan dorongan emosi,
ingin dikenal atau menonjolkan diri serta pelampiasan kekecewaan. Bahkan
sesungguhnya terkucil dari lingkungan keluarga dan masyrakat.
Tindakan kejahatan dan pelanggaran
diancam hukuman pidana berdasarkan jenis kejahatan tertentu yang dilakukan
anak. Tindakan pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan karena pengaruh sikap
mental, desakan emosi atau pengaruh lainya tanpa memikirkan resiko yang
dihadapi. Lalu lintas adalah (berjalan) bolak-balik, hilir mudik, perihal
perjalanan di jalan, perhubungan antara satu tempat ketempat yang lain. Lalu
lintas dan angkutan jalan yang mempunyai karakteristik dan keunggulan
tersendiri perlu dikembangkan dan dimanfaatkan sehingga mampu menjangkau
seluruh wilayah pelosok daratan dengan mobilitas tinggi dan mampu memadukan
moda transportasi lain. Pengembangan lalu lintas dan angkutan jalan yang ditata
dalam satu kesatuan sistem, dilakukan dengan mengintegrasikan dan
mendinamisasikan unsur-unsurnya yang terdiri dari jaringan transportasi jalan,
kendaraan beserta pengemudinya, serta peraturan-peraturan, prosedur dan metode
sedemikian rupa sehingga terwujud suatu totalitas yang utuh, berdaya guna dan
berhasil guna.
Mengingat penting dan srategisnya
peranan lalu lintas dan angkutan jalan yang menguasai hajat hidup orang banyak,
maka lalu lintas dan angkutan jalan dikuasai oleh negara yang pembinaanya
dilakukan oleh pemerintah. Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang
mengusai hajat hidup orang banyak, maka lalu lintas dan angkutan jalan dikuasai
oleh Negara yang pembinaanya dilakukan oleh pemerintah. Penyelenggaraan lalu
lintas dan angkutan jalan, sekaligus dalam rangka mewujudkan sistem
transportasi nasional yang handal dan terpadu.
Sebagaimana diketahui bahwa masalah
kenakalan anak membawa dampak negatif terutama tindakan atau perbuatan yang
menggangu ketertiban dan keamanan khususnya dalam lalu lintas. Tindakan anak
ini umumnya bertentangan dengan norma-norma sosial serta ketentuan hukum yang
berlaku di masyarakat. Berbagai pelanggaran tersebut sewajarnya masih merupakan
tantangan bagi aparat penegak hukum dalam menangani permasalahan ini. Untuk itu
perlu diambil langkah-langkah yang tepat, cepat dan terkendali serta
terkoordinasi dengan berbagai pihak agar usaha pencegahan dan penanggulangan
kenakalan anak ini dapat teratasi.
Majunya ilmu pengetahuan dibidang teknik
akan menambah jumlah kendaraan bermotor dan makin ramainya jalan oleh para
pemakai jalan terutama yang mempergunakan kendaraan bermotor menyebabkan
pesatnya arus lalu lintas di jalanan. Simpang siurnya lalu lintas di jalanan
setiap hari bertambah terus sehingga segala akibat yang ditimbulkan oleh
ramainya lalu lintas itu akan mempunyai efek juga bagi masyarakat.
Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor
seperti sepeda motor dan mobil dengan berbagai macam ragamnya dan mereknya,
berarti juga pengemudinya menunjukan kenaikan yang pesat. Sedangkan kendaraan
seperti sepeda onthel atau gerobak makin lama makin menghilang/berkurang dan
bukan tidak mungkin akan ditinggalkan. Dengan bertambahnya lalu lintas di jalan
itu menyebabkan jalan-jalan semakin padat dan kelihatan semakin sempit, oleh
karena itu harus diadakan pelebaran jalan.
Dengan simpang siurnya kendaraan di jalan raya itu membuktikan bahwa
rohani manusia yang berkomunikasi dengan kendaraan makin banyak. Jadi pada
prinsipnya manusialah yang paling banyak mempergunakan jalan atau menjadi
pemakai jalan yang utama, yaitu manusia yang dalam tingkatan rohani dan jasmani
juga tentang pengetahuan peraturan lalu lintas pada umunya dapat dikatakan
kurang cukup.
Mereka pada umunya kurang menyadari akan
bahaya yang mungkin timbul atas dirinya atau diri orang lain jika mereka sudah
meginjakan kakinya di jalan. Di jalan sering terjadi peristiwa yang menimbulkan
bahaya dan malapetaka yang akan menimpa jiwa dan harta. Janganlah hendaknya
beranggapan bahwa peraturan lalu lintas hanya merupakan beban atau penghambat
bagi para pemakai jalan. Pesatnya perhubungan yang memakai kendaraan bermotor
memerlukan banyak peraturan yang diperlukan untuk ketertiban hubungan lalu
lintas itu. Semua bentuk lalu lintas itu mempunyai pengaturan hukum tersendiri.
Adapun pengaturan yang mengatur tentang
lalu lintas ini yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan menggantikan Undang-Undang nomor 14 tahun 1992. Dikeluarkanya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 ini adalah untuk ketertiban, keamanan, dan
kelancaran jalanya lalu lintas demi mewujudkan pembangunan dan integrasi
nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana di
amanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun
tujuan dari berlalu lintas menurut Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 sebagai berikut:
“Terwujudnya
pelayanan Lalu Lintas dan angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar,
dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan
kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu
menjunjung tinggi martabat bangsa”.
Dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini adalah agar masyarakat
dapat mengetahui dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku dalam undang-undang
ini, mengingat begitu banyaknya revisi peraturan dalam undang-undang yang baru
ini. Semua peraturan yang di keluarkan ini agar dapat menjaga ketertiban,
keamanan, dan kelancaran jalanya lalu lintas kendaraan bermotor di jalan raya.
Maksud dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan ini karena undang-undang lalu lintas yang lama itu sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan zaman terutama karena pesatnya perkembangan
kemajuan teknik dibidang pengangkutan di jalan raya. Setiap orang
dianggap/diwajibkan mengetahui undang-undang dan peraturan-peraturan, akan
tetapi hanya sebagian kecil saja dari penduduk yang mengerti terutama mengenai
peraturan lalu lintas yaitu hanyalah pengemudi kendaraan bermotor yang telah
menempuh ujian ketika hendak mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM). Bilamana terjadi
suatu pelanggaran peraturan lalu lintas, maka terlebih dahulu haruslah diingat
bahwa segala peraturan lalu lintas jalan berisikan 2 (dua) kategori ketentuan
yaitu yang merupakan perintah dan larangan.
Dalam hal pelanggaran peraturan lalu
lintas tidaklah memperhatikan apakah tindakan itu dilakukan dengan sengaja atau
karena kealpaan. Karena seorang pengemudi kendaraan bermotor yang pada waktu
mengendarai kendaraanya di jalan umum tertangkap oleh polisi karena dia tidak
membawa surat izin mengemudi (SIM) karena tertinggal di rumah, tetapi dalam hal
pelanggaran lalu lintas tetap dipersalahkan.
Masalah lupa atau ketinggalan disini
adalah suatu kealpaan (culpa). Tetapi
dalam peraturan lalu lintas kealpaan ini tidak diperhatikan. Akibat dari
pelanggaran lalu lintas ini dapat merugikan harta benda, misalnya dengan
rusaknya kendaraan itu sendiri, bahkan dapat pula merenggut jiwa orang lain
maupun jiwa dari pada pengemudi itu sendiri, tetapi ada juga pelanggaran yang
tidak dapat menimbulkan kerugian apa-apa, dan jenis pelanggaran yang terakhir
inilah yang paling sering terjadi.
Akibat
dari pada jenis pelanggaran lalu lintas yang terakhir ini hanyalah dirasakan
oleh si pengemudi atau pemilik kendaraaan itu sendiri, misalnya terhadapnya
dijatuhi hukuman denda atau hukuman kurungan sebagai pengganti apabila denda
itu tidak dibayar. Dalam hal terjadi kecelakaan lalu lintas yang disebabkan
oleh kealpaan, sehingga terjadi palanggaran Pasal-Pasal dalam Kitab
Undang-Undang hukum pidana (KUHP) terutama Pasal 359 dan 360, disebabkan
pengemudi tidak memperhatikan kepetingan umum, misalnya melarikan kendaraanya
dengan kecepatan yang tinggi, membawa muatan orang atau barang lebih dari pada
apa yang telah ditetapkan atau karena kurang memperhatikan keadaan alat-alat
dari kendaraan yang dikemudinya. Kita sering menggunakan perkataan kecelakaan lalu
lintas. Akan tetapi apakah yang diartikan dengan kecelakaan lalu lintas itu,
apakah tiap kecelakaan yang terjadi dijalan termasuk kecelakaan lalu lintas.
Penetapan arti ini adalah penting untuk
dijadikan pegangan bagi para pemeriksa kecelakaan lalu lintas dan juga bagi
pencatatan mengenai banyaknya kecelakaan yang terjadi.
3. Dasar Hukum
Pelanggaran Lalu Lintas
Dalam Pasal 316 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 dapat kita ketahui pasal-pasal mana yang mengatur tentang
perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran lalu lintas.
Pasal
316 ayat (1) adalah :
“Ketentuan
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 274, Pasal 275 ayat (1), Pasal 276, Pasal
278, Pasal 279, Pasal 280, Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 284, Pasal
285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal
292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, Pasal 296, Pasal 297, Pasal 298, Pasal
299, Pasal 300, Pasal 301, Pasal 302, Pasal 303, Pasal 304, Pasal 305, Pasal
306, Pasal 307, Pasal 308, Pasal 309, dan Pasal 313 adalah pelanggaran”.
Pelanggaran lalu lintas yang dilakukan
dengan sengaja maupun dengan kealpaan, diharuskan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan karena kesengajaan atau kealpaan merupakan unsur kesalahan, yang
terdapat dalam Pasal 316 (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 yang diatur dalam
pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 274
:
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi jalan sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 28 (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau
denda paling banyak Rp24.000.000.00 (dua puluh empat juta rupiah).
(2) Ketentuan ancaman pidana sebgaimana
dimaksudkan pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang melakukan
perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan sebagimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2).
Pasal 275 ayat (1)
:
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi
isyarat lalu lintas, fasilitas pejalan kaki, dan alat pengaman pengguna jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 (2) dipidana dengan kurungan paling lama 1
bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 276 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor umum dalam trayek tidak singgah diterminal
sebagai mana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan kurungan paling lama 1
bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 278 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih di jalan yang tidak
dilengkapi dengan perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga pengaman,
dongkrak, pembuka roda, dan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan
sebgaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah).
Pasal 279 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bemotor di jalan yang dipasangi perlengkapan yang
dapat menggangu keselamatan lalu lintas sebagimana dimaksud dalam Pasal 58
dipidana dengan kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 280 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak di pasangi tanda nomor
kendaraan bermotor yang ditetapkan Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dipidana dengan kurungan paling
lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah).
Pasal 281 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak memiliki surat izin
mengemudi sebagimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.1.000.000,00
(satu juta rupiah).
Pasal 282 :
Setiap pengguna
jalan yang tidak mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling
banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 283 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan
kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan
konsentrasi dalam mengemudi di jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat
(1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda
paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 284 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan
pejalan kaki atau pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling
banyak Rp500.000,00(lima ratus ribu rupiah).
Pasal 285 :
(1) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor
di jalan yang tidak mematuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi
kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul
cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban sebagimana
dimaksud pada Pasal 106 ayat (3) jo. Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan
bermotor beroda empat atau lebih di jalan yang tidak memenuhi persyaratan
teknis yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu mundur, lampu
tanda batas dimensi badan kendaraan, lampu gandengan, lampu rem, lampu petunjuk
arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, kedalaman alur ban, kaca
depan, spakbor, bumper, penggandengan, penempelan, atau pengahapus kaca
sebagimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) jo. Pasal 48 ayat (2) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 286 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih di jalan yang
tidak memenuhi persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat
(3) jo. Pasal 48 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan
atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 287
:
(1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan
bermotor di jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan
dengan rambu lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a
atau marka jalan sebagimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana
dengan kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan
bermotor di jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan
dengan alat pemberi isyarat lalu lintas sebagimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat
(4) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda
paling bayak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(3) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan
bermotor di jalan yang melanggar aturan gerakan lalu lintas sebagimana dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (4) huruf d atau tata cara berhenti dan parkir sebagimana
ketentuan dimaksud dalam Pasal 106 ayat
(4) huruf e dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda
paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(4) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan
bermotor dijalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama
bagi kendaraan bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 106, ayat (4) huruf f, atau Pasal
134 pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(5) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan
bermotor dijalan yang melanggar aturan batas kecepatan paling tinggi atau
paling rendah sebagimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf g atau Pasal
115 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda
paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(6) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan
bermotor di jalan yang melanggar aturan tata cara penggandengan kendaraan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf h dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah).
Pasal 288 :
(1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan
bermotor di jalan yang tidak dilengkapi dengan surat bermotor di jalan yang
tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda
Coba Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf a pidana dengan pidana
kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan
bermotor di jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf b dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 bulan dan/atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua
ratus lima puluh ribu rupiah).
(3) Setiap orang yang mengemudikan mobil
penumpang umum, mobil, bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan
yang tidak dilengkapi dengan surat keterangan uji berkala dan tanda lulus uji
berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf c dipidana dengan
pidana kurungan paling kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 289
:
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor atau penumpang yang duduk disamping
pengemudi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan sebagimana yang dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan
atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 290 :
Setiap orang
yang mengemudikan dan penumpang kendaraan bermotor selain sepeda motor yang
tidak dilengkapi dengan rumah-rumah dan tidak mengenakan sabuk keselamatan dan
mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (7) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua
ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 291
:
(1) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor
tidak mengenakan helm Standar Nasional Indonesia sebagimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (8) dipidana dengan kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling
banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor
yang membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda
paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 293 :
(1) Setiap orang yang mengemudi kendaraan
bermotor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi
tertentu sebagimana dimaksud dalam pasal 107 ayat (1) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor
di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagimana dimaksud dalam
Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 hari atau denda
paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Pasal 294 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor yang akan membelok atau berbalik arah,
tanpa memberikan isyarat dengan lampu petunjuk arah atau isyarat tangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah).
Pasal 295 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor yang akan berpindah lajur atau bergerak ke
samping tanpa memberikan isyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 296 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor pada perlintasan antara kereta api dan
jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api
sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda
paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 297 :
Setiap
orang yang mengemudikan kendaraan bermotor berbalapan di jalan sebagimana
dimaksud dalam Pasal 115 huruf b dipidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda
paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 298 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak memasang segitiga pengaman,
lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir
dalam keadaan darurat di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 299
:
Setiap orang
yang mengendarai kendaraan bermotor yang dengan sengaja berpegang pada
kendaraan bermotor untuk ditarik, menarik benda-benda yang dapat membahayakan
pengguna jalan lain, dan/atau menggunakan jalur jalan kendaraan sebagimana
dimaksud dalam Pasal 122 huruf a, huruf b, atau huruf c dipidana dengan
kurungan paling lama 15 hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah).
Pasal 300 :
Dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua
ratus lima puluh ribu rupiah), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang :
a. Tidak menggunakan jalur yang telah di
tentukan atau tidak menggunakan jalur paling kiri, kecuali saat akan mendahului
atau mengubah arah sebagimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf c.
b. Tidak memperhatikan kendaraannya selama
menaikkan dan/atau menurunkan penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124
ayat (1) huruf d;atau
c. Tidak menutup pintu kendaraan selama
kendaraan berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf e.
Pasal 301:
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor angkutan barang yang tidak menggunakan
jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 125 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda
paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah).
Pasal 302 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor umum angkutan orang yang tidak berhenti
selain di tempat yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang selaian
di tempat pemberhentian atau melewati jaringan jalan selain yang ditentukan
dalam izin trayek sebagimana dimaksud dalam Pasal 126 dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah).
Pasal 303
:
Setiap orang
yang mengemudikan mobil barang untuk mengangkut orang kecuali dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf c
dipidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00
(dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 304 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan angkutan orang dengan tujuan tertentu yang
menaikkan atau menurunkan penumpang lain disepanjang perjalanan atau
menggunakan kendaraan angkutan tidak sesuai dengan angkutan untuk keperluan
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah).
Pasal 305 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor yang mengangkut barang khusus yang tidak
memenuhi ketentuan tentang persyaratan keselamatan, pemberian tanda barang,
parkir, bongkar dan muat, waktu operasi dan rekomendasi dari instansi terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, huruf e, atau huruf f, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan
atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 306 :
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan angkutan barang yang tidak dilengkapi surat muatan
dokumen perjalanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 307
:
Setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor angkutan umum barang yang tidak mematuhi
ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dipidana paling banyak
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 308 :
Dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 2 bulan atau dipidana denda paling banyak
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), setiap orang mengemudikan kendaraan
bermotor umum yang :
a. Tidak memiliki izin menyelenggarakan
angkutan orang dalam trayek sebagaimana di maksud dalam Pasal 173 ayat (1)
huruf a;
b. Tidak memiliki izin menyelanggarakan
angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana di maksud dalam Pasal 173 ayat
(1) huruf b;
c. Tidak memiliki izin menyelenggarkan
angkutan barang khusus dan alat berat sebagaimana di maksud dalam Pasal 173
ayat (1) huruf c;atau
d. Menyimpang dari izin yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.
Pasal 309 :
Setiap orang
yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya untuk penggantian kerugian yang
diderita oleh penumpang, pengirim barang, atau pihak ketiga sebagiamana
dimaksud dalam Pasal 189 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan
atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
Pasal 313 :
Setiap orang
yang tidak mengasuransikan awak kendaraan dan penumpangnya sebagimana yang
dimaksud pada Pasal 237 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan
atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
C.
Tinjauan umum tentang Anak
1. Pengertian tentang anak
a) Pengertian Anak Menurut UUD 1945
Pengertian
anak berdasarkan UUD 1945. Pengertian anak dalam UUD 1945 terdapat di dalam Pasal
34 yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Hal ini mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum nasional yang
harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak.
Dengan kata lain anak tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat. Terhadap pengertian anak menurut UUD 1945 ini, Irma Setyowati
Soemitro, SH menjabarkan sebagai berikut, “ketentuan UUD 1945, ditegaskan
pengaturannya dengan dikeluarkannya UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan
anak, yang berarti makna anak (pengertian tentang anak) yaitu seseorang yang
harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin
pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah, maupun
sosial. Atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosial. Anak juga berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa
dalam kandungan maupun sesudah ia dilahirkan”.[9]
b) Pengertian
Anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Pengertian anak berdasarkan UU Pengadilan
Anak Nomor 3 Tahun 1997 tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “ Anak
adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum
pernah menikah ”. Jadi dalam hal ini pengertian anak dibatasi dengan syarat
sebagai berikut: pertama, anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) sampai
dengan 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah
kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan
kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya
putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa walaupun umurnya
belum genap 18 (delapan belas) tahun.
Dengan demikian di dalam ketentuan hukum
pidana telah memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang kehilangan
kemerdekaan, karena anak dipandang sebagai subjek hukum yang berada pada usia
yang belum dewasa sehingga harus tetap dilindungi segala kepentingan dan perlu
mendapatkan hak-hak yang khusus yang diberikan oleh negara atau pemerintah.
Jadi dari berbagi defenisi tentang anak di atas sebenarnya dapatlah diambil
suatu benang merah yang menggambarkan apa atau siapa sebenarnya yang dimaksud
dengan anak dan berbagai konsekwensi yang diperolehnya sebagi penyandang gelar
anak tersebut.
c) Pengertian
Anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Pengertian anak dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 masih sama dengan pengertian anak dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Namun terdapat beberapa perubahan dan
perkembangan, khususnya dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang baru disahkan oleh Presiden bersama DPR pada akhir
bulan Juli 2012 dibanding dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak. Tujuannya adalah untuk semakin efektifnya perlindungan anak dalam sistem
peradilan demi terwujudnya sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal justice system).
2. Pengertian umum tentang Kenakalan Anak
Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang
kenakalan anak terlebih dahulu dikemukakan pengertian anak itu sendiri sehingga
terdapat kesamaan pandangan.
Kenakalan anak pada dasarnya adalah
merupakan gejala sakit (patologis)
secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk
pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang
menyimpang. Anak-anak yang delinkuen atau jahat itu disebut pula anak cacat
secara sosial. Mereka cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di
tengah masyarakat.
Juvenile berasal dari bahasa latin
juvenilis, artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda,
sifat-sifat khas pada periode remaja. Delinquent
berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan,
yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, kriminal, pelanggar aturan,
pembuat ribut, pengacau, dan penteror.[10]
Di Indonesia, Kriteria anak mendapat
tanggapan beberapa ahli. Seperti misalnya Yulia D. Gunarsa mengemukakan
pendapatnya tentang batas-batas usia anak,
remaja dan dewasa bertitik tolak pada batas usia remaja yang dinyatakan
sebagai berikut:
“Anak
merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa remaja yakni antara 6
sampai 17 tahun.’’[11]
Batasan yang diajukan dalam menelaah
mengenai pengertian anak/remaja, berdasarkan dari pendapat pakar-pakar
psikologi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Undang-Undang nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak) menyebutkan bahwa pengertian anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan. Sehingga dalam batasan konsep penulisan hukum ini adalah bagi
anak/remaja dalam rentang usia antara 13-21 tahun.[12]
Perkembangan usia anak hingga dewasa
dapat diklasifikasikan menjadi empat yaitu :
a) Anak,
seorang yang berusia di bawah 12 tahun.
b) Remaja
dini, seorang yang berusia 12 – 15 tahun.
c) Remaja
penuh, seorang yang berusia 15 – 17 tahun.
d) Dewasa muda,
seorang yang berusia 17-21 tahun.
e) Dewasa, seorang
berusia di atas 21 tahun.
Menurut pendapat Kartini Kartono
Mayoritas juvenile delinquency
berusia dibawah 21 tahun. Angka tertinggi tindak kejahatan ada pada usia 15-19
tahun, dan sesudah umur 22 tahun, kasus kejahatan yang dilakukan oleh geng-geng
delinkuen jadi menurun.[13]
Menurut Pasal 4 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang No.3 Tahun 1997, nampaknya belum dewasa itu sama pengertiannya
ketika umurnya belum mencapai 18 tahun. Oleh karena itu seorang yang melakukan
dan berbuat kesalahan, hingga batas usia tersebut hakim dapat memutuskan salah
satu dari tiga kemungkinan berikut ini, yaitu :
a) Anak itu
dikembalikan pada orang tua atau walinya, dengan tidak dijatuhi hukuman suatu
apapun.
b) Anak itu
dijadikan anak negara, maksudnya tidak dijatuhi hukuman, akan tetapi akan
diserahkan kepada rumah pendidikan anak-anak nakal untuk mendapatkan didikan
dari negara sampai anak itu berumur 18 tahun, hal ini hanya dapat dilakukan
bila anak itu telah berbuat suatu kejahatan atau pelanggaran yang termaksud
dalam pasal ini dan sebagai residive.
c) Anak itu
dijatuhi hukuman seperti biasa. Dalam hal ini ancaman hukumannya paling lama ½
(satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Setiap anak pelaku tindak pidana yang
termasuk sistem peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi
sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak
untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya, serta penghargaan terhadap
pendapat anak.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Berdasarkan rumusan
masalah dan tujuan penelitian, maka metode pendekatan yang digunakan adalah
metode pendekatan yuridis normatif, mengingat permasalahan yang diteliti dan
dikaji berpegang pada aspek yuridis yaitu berdasarkan pada teori-teori hukum
dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka.[14]
B. Spesifikasi Penelitian
Untuk mendekati pokok permasalahan
penelitian, digunakan penelitian deskriptif analitis yaitu melukiskan keadaan
masalahnya tanpa maksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku
secara umum, berdasarkan kajian kriminologi.
C. Metode Penentuan Sampel
Metode penentuan sampel yang digunakan
adalah teknik nonrandom sampling dengan memakai purposive sampling yaitu teknik pengumpulan data yang pengambilan
subjeknya didasarkan pada tujuan tertentu terlebih dahulu berdasarkan objek
yang diteliti.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah studi kepustakaan dan studi lapangan.
1. Studi kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan cara
memperoleh data secara tidak langsung dari objek penelitian yaitu dalam bentuk
mempelajari literatur, peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan hukum
lain yang erat kaitanya dengan analisis yuridis terhadap pelanggaran lalu
lintas yang dilakukan oleh anak, dan data yang penulis pakai adalah data
sekunder yang dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi[15] :
a) Bahan hukum primer, yaitu :
1) Undang-Undang Dasar 1945;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak.
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder diambil dari :
1) Literatur, buku-buku dan makalah-makalah yang
relevan dengan judul.
2) Tulisan dan penelitian yang terdahulu tentang penegakan
lalu lintas yang berkaitan dengan pelanggaran lalu lintas.
3)
Bahan hukum tersier
Bahan hukum yang memberikan
petunjuk atas bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan
sebagainya.
2. Studi lapangan
Studi lapangan dengan cara wawancara
dengan Kasatlantas Polrestabes Semarang yang dilakukan secara terstruktur
menggunakan pedoman wawancara untuk memperoleh data mengenai Pelanggaran Lalu
lintas yang dilakukan oleh anak di Kota Semarang.
e. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini
akan dianalisis secara kualitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Sebelum menganalisis data tersebut, terlebih dahulu diadakan pengorganisasian
terhadap data sekunder dan data primer yang diperoleh dari para narasumber.
Selanjutnya dilakukan klasifikasi secara sistematis untuk memudahkan analisis
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Kajian
kriminologi tentang pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di Wilayah
Hukum Polrestabes semarang apabila dilihat dari sudut kriminologi
Berbicara tentang pelanggaran lalu lintas
yang dilakukan oleh anak, artinya berbicara tentang kenakalan anak, dimana berbicara
tentang kenakalan anak tidak terlepas dari faktor-faktor pendorong atau motifasi
sehingga seorang anak melakukan kenakalan/pelanggaran. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, bahwa yang dimaksud motifasi adalah dorongan yang timbul pada
diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu perbuatan
dengan tujuan tertentu. Menurut Romli Atmasasmita bentuk motifasi itu ada dua macam
, yaitu : motifasi intrinsik dan ekstrinsik. Motifasi intrinsik adalah dorongan
atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai dengan perangsang
dari luar, sedangkan motifasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar.[16]
Tabel daftar pelanggar
lalu lintas dari segi usia 0-15 dan 15-30 tahun
NO
|
BULAN
|
USIA PELANGGAR
|
|
0-15
|
16-30
|
||
1
|
Januari
2013
|
28
|
1559
|
2
|
Februari
2013
|
47
|
2497
|
3
|
Maret
2013
|
58
|
2564
|
4
|
April
2013
|
99
|
2626
|
5
|
Mei
2013
|
87
|
3130
|
6
|
Juni
2013
|
61
|
2188
|
7
|
Juli
2013
|
122
|
2725
|
8
|
Agustus
2013
|
103
|
2839
|
9
|
September
2013
|
215
|
2211
|
10
|
Oktober
2013
|
234
|
5545
|
11
|
Nopember
2013
|
336
|
2745
|
12
|
Desember
2013
|
567
|
5532
|
13
|
Januari
2014
|
107
|
3452
|
14
|
Februari
2014
|
677
|
5942
|
15
|
Maret
2014
|
568
|
3688
|
Sumber laporan GAKKUM
LANTAS SATLANTAS POLRESTABES SEMARANG Januari 2013-Maret 2014.
Berdasarkan data pelanggaran lalu lintas
di atas, tergambar bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh anak,remaja dan dewasa
sampai usia 30 tahun dari tahun ke tahun bervariasi. Melihat dari naik turunnya
jumlah pelanggar diatas tergambar bagaimana suatu kriminologi mengkaji bahwa
suatu pelanggaran tersebut dapat dipengaruhi dorongan dalam diri sendiri dan
dorongan dari luar si anak tersebut.
Faktor pendorong dari dalam diri sendiri
adalah sebagai berikut :
1. Faktor inteligensia
Inteligensia adalah kecerdasan
seseorang. Dalam hal pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak faktor
inteligensia ini merupakan salah satu faktor pendukung dimana faktor yang
mempengaruhi anak melakukan pelanggaran lalu lintas yaitu : perilaku seseorang
tidak disiplin berlalu lintas, peran keluarga, emosional si anak dan
pengetahuan. Perilaku seseorang tidak disiplin berlalu lintas yakni tidak mentaati
aturan lalu lintas, misalnya pada saaat lampu merah kendaraan dilarang
melintas. Dan yang dimaksud peran keluarga disini yaitu seorang anak masih
membutuhkan pengawasan dan pemahaman yang lebih mengenai berkendara. Dari sisi
emosional yaitu si anak masih belum cukup mengerti aturan dan akibat berlalu
lintas sehingga si anak selalu ingin mencoba, dan anak tersebut berani membawa
kendaraan di jalan raya. Dari segi pengetahuan si anak juga belum tahu
bahayanya berlalu lintas jika tidak sesuai dengan aturan yang ada.
2. Faktor usia
Faktor usia adalah faktor yang penting
dalam hubungannya dengan sebab-sebab timbulnya kejahatan, tidak terkecuali
kenakalan yang dilakukan oleh seorang anak. Secara kriminologi, dari hasil
penelitian yang dilakukan menunjukkan sejauh mana usia merupakan masalah yang
penting dalam kaitan sebab-musabab kenakalan.
Tabel
daftar pelanggar lalu lintas ditinjau dari segi pendidikan
NO
|
BULAN
|
PENDIDIKAN PELANGGAR
|
|
SLTP
|
SLTA
|
||
1
|
Januari
2013
|
399
|
4119
|
2
|
Februari
2013
|
513
|
4406
|
3
|
Maret
2013
|
211
|
4430
|
4
|
April
2013
|
497
|
3801
|
5
|
Mei
2013
|
398
|
4254
|
6
|
Juni
2013
|
198
|
2626
|
7
|
Juli
2013
|
144
|
3289
|
8
|
Agustus
2013
|
118
|
2425
|
9
|
September
2013
|
215
|
4286
|
10
|
Oktober
2013
|
542
|
5136
|
11
|
Nopember
2013
|
985
|
2200
|
12
|
Desember
2013
|
1941
|
8541
|
13
|
Januari
2014
|
652
|
3483
|
14
|
Februari
2014
|
197
|
5529
|
15
|
Maret
2014
|
210
|
3521
|
Sumber laporan GAKKUM
LANTAS SATLANTAS POLRESTABES SEMARANG Januari 2013-Maret 2014.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa
kisaran usia SLTP adalah 13-15 tahun, SLTA adalah 16-18 tahun. Dengan demikian
usia 13-18 tahun adalah usia yang paling rawan terjadinya kenakalan anak,
apalagi dalam hal pelanggaran ketertiban. Hal ini menandakan bahwa pada
kenyataannya anak di usia 13 tahun yang tergolong usia yang masih belia sudah mampu
mengendarai kendaraan bermotor yang sebenarnya belum diperbolehkan.
Faktor pendorong dari luar adalah
sebagai berikut :
1. Faktor
keluarga
Keluarga merupakan lingkungan sosial
yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan, dan didalamnya remaja
mendapatkan pendidikan yang pertama dan utama. Oleh karena itu keluarga
memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak dan jangan pernah
memberikan kendaraan kepada si anak sebelum cukup umur karena awal dari
kecelakaan adalah pelanggaran.
Anak berpotensi melakukan pelanggaran
lalu lintas tidak terlepas dari adanya dukungan orang tua/keluarga, hal ini
dapat dilihat ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya mampu mengendarai
kendaraan bermotor di usia yang sangat dini namun tidak memberi pengawasan yang
ketat terhadap anak untuk tidak membawa kendaraan bermotor, terlebih lagi orang
tua yang dengan sengaja mengajarkan anaknya mengendarai kendaraan bermotor di
usia yang sangat dini. Dari sinilah dapat dilihat bahwa anak yang masih dibawah
umur masih sangat membutuhkan pengertian dan pengawasan dari keluarga karena dengan adanya pengawasan dari keluarga
maka si anak akan lebih terarah, selain itu keluarga juga mempunyai peranan
besar terhadap perkembangan anak itu sendiri, karena jika orang tua tidak
mendukung dan menfasilitasi, maka si anak tidak mungkin membawa kendaraan dan
melakukan pelanggaran karena kurangnya pengetahuan berlalu lintas.
2. Faktor
Pendidikan dan Sekolah
Sekolah
adalah media atau perantara bagi pembinaan jiwa para anak, atau dengan kata
lain sekolah ikut bertanggung jawab terhadap pendidikan anak, baik pendidikan
keilmuan maupun pendidikan tingkah laku. Banyaknya atau bertambahnya kenakalan anak
secara tidak langsung menunjukkan kurang berhasilnya sistem pendidikan
disekolah-sekolah.
Dalam
konteks demikian, sekolah adalah tempat pendidikan anak ke dua setelah
lingkungan keluarga/rumah tangga si anak itu sendiri. Selama mereka menempuh
pendidikan disekolah, terjadi interaksi antara anak dan sesamanya, interaksi
yang mereka lakukan disekolah sering menimbulkan efek samping yang negative
terhadap perkembangan mental si anak sehingga anak menjadi delikuen.
Peran
sekolah juga tidak kalah pentingnya dalam hal memberikan izin untuk membawa
kendaraan ke sekolah, dan dari pihak keluarga juga mestinya mendukung dan ikut
saling mengawasi perilaku si anak. Karena dalam Undang-Undang Lalu Lintas Nomor
22 Tahun 2009 telah dijelaskan secara eksplisit bahwa batasan seseorang untuk
mengendarai kendaraan bermotor harus/telah berusia 17 tahun dan memiliki Surat
Ijin Mengemudi.
3. Faktor Pergaulan Anak
Harus disadari betapa besar pengaruh
lingkungan terhadap anak, terutama dalam konteks kultural atau kebudayaan
lingkungan tersebut. Anak menjadi delikuen karena banyak dipengaruhi oleh
berbagai tekanan pergaulan yang semuannya memberikan pengaruh yang menekan dan
memaksa pada pembentukkan perilaku yang buruk, sebagai produknya para anak tadi
suka melanggar peraturan, norma sosial dan hukum formal. Para anak menjadi delikuen/jahat
sebagi akibat dari transformasi psikologis sebagai reaksi terhadap pengaruh
eksternal yang menekan dan memaksa sifatnya. Karena itu semakin luas anak
bergaul semakin intensif relasinya dengan anak nakal, akan menjadi semakin lama
pula proses berlangsungnya asosiasi deferensial tersebut dan semakin besar pula
kemungkinan anak tadi benar-benar menjadi nakal.
Adapun anak dapat mengendarai kendaraan
bermotor karena pengaruh dari teman-temannya, hal ini berarti pergaulan anak
menjadi salah satu faktor penyebab anak menjadi berani membawa kendaraan
bermotor diusianya yang masih dini dan berpotensi membuat anak tersebut
melakukan pelanggaran lalu lintas. Dalam hal ini contohnya balapan liar,
melanggar lalu lintas dan cenderung tidak menggunakan alat kelengkapan
berkendara.
B. Upaya yang telah dilakukan oleh pihak
Polrestabes Semarang dalam menghadapi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan
oleh anak dilihat dari sudut krminologi.
Polisi lalu lintas adalah unsur
pelaksana yang bertugas menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan,
pengaturan, pengawalan dan patroli, pendidikan masyarakat dan rekayasa lalu
lintas, registrasi dan identifikasi pengemudi kendaraan bermotor, penyidikan
kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum dalam bidang lalu lintas, guna
memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas.
Pelayanan kepada masyarakat di bidang
lalu lintas dilaksanakan juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat,
karena dalam masyarakat yang modern lalu lintas merupakan faktor utama
pendukung produktifitasnya. Dan dalam lalu lintas banyak masalah atau gangguan
yang dapat menghambat dan mematikan proses produktifitas masyarakat. Seperti
kecelakaan lalu lintas, kemacetan maupun tindak pidana yang berkaitan dengan
kendaraan bermotor.
Perkembangan pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi yang semakin meningkat berdampak
pada sarana dan prasarana pendukung moda transportasi yang berimplikasi
terhadap timbulnya permasalahan lalu lintas yang semakin kompleks. Pertumbuhan
kepemilikan kendaraan bermotor berkembang dengan pesat bila tidak diimbangi
panjang jalan yang memadai, ketrampilan berkendara dan disiplin berlalu lintas
bagi pemakai kendaraan bermotor dan pengguna jalan lainnya berakibat pada
tingginya pelanggaran lalu lintas dan tingkat kecelakaan lalu lintas
menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Keamanan dan keselamatan di jalan
merupakan harapan semua pengguna jalan. Lalu lintas merupakan urat nadi bagi
tumbuh dan berkembangnya masyarakat. Demikian halnya kualitas hidup masyarakat
untuk dapat tumbuh dan berkembang sangat dipengaruhi faktor lalu lintas. Polri
sebagai Aparat Negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegak hukum, pelindung pengayom dan pelayan masyarakat dalam pelaksanaan
tugasnya khususnya Polantas sebagai institusi Kepolisian yang menangani
masalah–masalah lalu lintas berupaya mewujudkan dan memelihara keamanan,
keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas.
Dalam upaya menekan dan memecahkan
berbagai masalah lalu lintas telah dilakukan secara persuasif, edukatif dengan
himbauan-himbauan baik melalui media elektronik maupun cetak serta melalui
pencegahan bahkan pada upaya penegakan hukum yang telah dilaksanakan belum
membuahkan hasil yang optimal. Masalah
lalu lintas bukan semata-mata tanggung jawab Polantas sendiri tetapi merupakan
hubungan fungsional, saling terkait dan bersama-sama antar stakeholders (pemangku kepentingan) dan masyarakat.
Sesuai dengan misi Polantas adalah
melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat melalui kegiatan Pendidikan
Masyarakat lalu lintas, penegakan
hukum lalu lintas, pengkajian masalah lalu lintas,
registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi di jalan. Pada
bagian pengkajian masalah lalu lintas merupakan salah satu upaya membangun
kemitraan dan membangun kesadaran berlalu lintas para pengguna lalu lintas
diantaranya dengan melakukan berbagai upaya pencegahan kecelakaan lalu lintas.
Untuk itu berbagai upaya dalam menekan
kecelakaan lalu lintas sangat dibutuhkan juga diperlukannya berbagai program
yang dapat digunakan sebagai sarana
koordinasi kepada instansi terkait lainnya sehingga dapat
terciptanya kesadaran dan kedisiplinan berlalu lintas dalam rangka mewujudkan
keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan umum.
Polisi lalu lintas bertugas
menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan, pengawalan
dan patroli, pendidikan masyarakat dan rekayasa lalu lintas, Registrasi dan
identifikasi pengemudi kendaraan bermotor, penyidikan kecelakaan lalu lintas
dan penegakan hukum dalam bidang lalu lintas, guna memelihara keamanan ,
ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Pelayanan kepada masyarakat di bidang
lalu lintas dilaksanakan juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat,
karena dalam masyarakat yang modern lalu lintas merupakan faktor utama
pendukung produktivitasnya. Dan dalam lalu lintas banyak masalah atau gangguan
yang dapat menghambat dan mematikan proses produktivitas masyarakat. Seperti
kecelakaan lalu lintas, kemacetan maupun tindak pidana yang berkaitan dengan
kendaraan bermotor. Untuk itu polisi lalu lintas juga mempunyai visi dan misi yang
sejalan dengan bahasan Polri di masa depan.
Kemajuan sektor transportasi, dengan
segala sarana dan prasarana teknologi pendukung yang ada, merupakan sarana
sangat vital dalam kehidupan modern yang semakin berkembang saat ini, untuk
memudahkan kita akses ke berbagai sumberdaya yang ada. Namun, pilihan-pilihan
atas moda transportasi ini haruslah memberikan jaminan bagi keselamatan hidup
manusia, menempatkan keselamatan di atas segalanya. Pembangunan berdimensi
manusia (human development), disertai
dengan teknologi transportasi berwajah manusiawi, haruslah menjadi kepedulian
kita bersama.
Upaya-upaya yang telah dilakukan pihak
Polrestabes Semarang antara lain pre-emtif, preventif, dan represif. Ketiganya
diuraikan sebagai berikut :
1. Pre-emtif
Upaya Pre-emtif disini adalah
upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya
tindak pidana, sebagaimana hasil penelitian penulis, dalam wawancara terhadap salah
seorang polisi anggota Polrestabes Semarang sebagai aparat hukum mengenai upaya
kepolisian menanggulangi terjadinya pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh
anak.
Brigadir Ali Arwani mengatakan bahwa
upaya yang dilakukan adalah dengan cara melaksanakan seminar, sosialisasi di
sekolah-sekolah, melalui ceramah, penyuluhan guna memberikan pemahaman etika
berlalu lintas diusia dini.[17]
Menurut penulis upaya yang dilakukan polisi tersebut merupakan upaya pencegahan
yang baik untuk anak diusia dini, dimana upaya tersebut merupakan upaya untuk
menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut mendarah
daging dalam diri seseorang, sehingga meskipun ada kesempatan untuk melakukan
pelanggaran/kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka
hal itu tidak akan terjadi.
2. Preventif
Preventif adalah tindak lanjut dari
upaya pre-emtif. Dalam upaya pre-emtif yang ditekankan adalah menghilangkan
kesempatan untuk dilakukannya kejahatan. Dalam hal ini keberadaan polisi pada
setiap pos keamanan yang berada di jalan-jalan sangatlah efektif dalam hal menutup
kesempatan bagi para anak yang belum memiliki surat-surat untuk dapat membawa
kendaraan bermotor di jalan. Selain itu juga dilakukan pengawasan dengan cara
swiping.
Brigadir Ali Arwani mengatakan bahwa sweeping biasanya dilakukan pada saat
ada penugasan dari atasan, yaitu dilakukan pada saat ramadhan (oprasi ketupat),
pada saat natalan (oprasi lilin), (oprasi simpatik) setiap 6 bulan sekali dan sweeping rutin (oprasi patuh).[18]
Dari sini sebenarnya sudah dapat dilihat
bahwa dengan adanya jadwal sweeping
yang sedemikian rupa seharusnya sudah tidak ada lagi pelanggaran lalu lintas
yang dilakukan oleh anak karena dengan penjagaan yang ketat anak tidak akan
berani untuk mengendarai kendaraan di jalan-jalan.
3. Represif
Upaya ini dilakukan pada saat telah
terjadinya tindak pidana atau kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum
dengan menjatuhkan hukuman. Dalam hal ini apabila polisi menemukan anak yang
membawa sepeda motor maka polisi akan memberikan tilang terhadap anak tersebut.
Brigadir Ali Arwani mengatakan bahwa
dengan melaksankan sisoalisasi di sekolah-sekolah, melakukan penindakan dengan
tilang apabila menemukan pelanggaran kepada anak yang menggunakan sepeda motor
guna memberikan efek jera sehingga si anak tidak mengulangi lagi. Dengan
diadakannya sosialisasi disekolah maka akan memberikan pengetahuan lebih awal
sehingga anak lebih tahu dan memahami arti penting saat berlalu lintas.
Sedangkan dengan cara tilang, anak tersebut akan tahu bahwa sebenarnya belum
diperbolehkan untuk berkendara karena belum cukup umur dan belum tahu betul
akibat jika berlalu lintas tidak sesuai dengan aturan, tilang tersebut
merupakan upaya penanggulangan yang paling efektif. Adapun ketika anak
menggunakan sepeda motor dengan kecepatan tinggi dengan sengaja untuk
menghindari petugas polisi maka polisi juga dapat menindaki anak tersebut
dengan cara mengejar anak tersebut.[19]
Adapun menurut Achmad Ruslan faktor-faktor
yang menjadikan peraturan itu efektif atau tidak, dapat dikembalikan kepada
empat factor efektifitas yaitu[20]
:
a. Kaidah Hukum Atau Peraturan Itu Sendiri
Dalam hal ini apakah
secara kuantitatif dan kualitatif peraturan yang mengatur mengenai lalu lintas
sudah cukup. Dari peraturan perundang-undangan yang ada tentang peraturan lalu
lintas dan Angkutan jalan yang terbaru yakni tahun 2009 menjadikan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai lalu lintas menjadi komplit dan
sesuai dengan kondisi masa kini.
b. Petugas Yang Menegakkannya
Petugas penegak hukum
memiliki peranan yang sangat penting, karena walaupun peraturannya sudah baik
tetapi penegak hukum kurang baik maka akan timbul masalah. Demikian pula
sebaliknya jika peraturannya kurang baik tetapi petugas penegakknya baik dapat
pula menimbulkan masalah. Dalam hal ini meskipun peraturan mengenai lalu lintas
sudah sangat baik tapi petugas penegak hukum tidak melaksakan tugas dan
wewenangnya dengan baik maka potensi pelanggaran lalu lintas akan selalu ada.
Dari hasil penelitian penulis hal ini benar adanya karena peraturan mengenai
lalu lintas yang tertuang dalam Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sudah sangat baik. Namun pelanggaran lalu lintas
masih tetap saja rawan terjadi hal ini tidak terlepas dari peranan penegak
hukum yang tidak begitu tegas atau tidak maksimal dalam menjalankan tugasnya.
c. Fasilitas
Fasilitas dapat
dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan penegakan hukum yang ruang
lingkupnya terutama berupa sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor
pendukung, misalnya kertas, tinta, kendaraan, computer dan sebaginya. Dalam
hubungan ini kerap kali suatu peraturan sudah diperlukan sedang fasilitas yang
akan mendukung pelaksanaan peraturan tersebut tersedia. Hal demikian ini dapat
terjadi bahwa suatu peraturan diadakan untuk memperlancar proses tetapi karena
fasilitas tidak cukup, maka yang akan terjadi adalah justru
kemacetan-kemacetan. Seperti halnya, kurang motor patroli dalam hal
memperlancar polisi dalam melakukan patroli, pengawasan dan pengejaran apabila
ada pelanggar yang mencoba menghindar atau melarikan diri. Dengan demikian fasilitaspun
menjadi sangat penting.
d. Warga Masyarakat Yang Terkena Ruang Lingkup
Peraturan Tersebut
Warga masyarakat
sebaiknya bisa berkerjasama dengan aparat kepolisian dalam mematuhi segala
peraturan yang ada agar tercipta efektifitas hukum sehingga terjadi
keseimbangan antara masyarakat dan aparat penegak hukum yang berwenang.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Kajian
kriminologi tentang pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di Wilayah
Hukum Polrestabes semarang
2. Upaya penanggulangan terhadap pelanggaran lalu
lintas yang dilakukan oleh anak di wilayah hukum Polrestabes Semarang oleh
pihak kepolisian adalah dengan melaksanakan sosialisasi di sekolah-sekolah,
melalui ceramah, penyuluhan guna memberikan pemahaman etika berlalu lintas di usia
dini. Selain itu juga dilakukan pengawasan dengan cara sweeping dalam waktu-waktu tertentu. Adapun upaya yang dilakukan
pada saat telah terjadi tindak pidana atau menjatuhkan hukuman. Dalam hal ini
apabila polisi menemukan anak yang membawa sepeda motor maka polisi akan memberikan
tilang terhadap anak tersebut.
B. Saran.
1. Saran penulis adalah dalam memberikan
pemahaman berlalu lintas sejak dini lebih ditingkatkan agar pengetahuan si anak
lebih cepat dicerna dengan baik karena sudah tertanam dari usia dini. Selain
itu faktor keluarga dan sekolah sebaiknya lebih berperan aktif agar anak
memahami betul akan pengetahuan berlalu lintas sejak dini tanpa ada pendorong
dari luar karena salah pergaulan.
2. Saran penulis dalam upaya penanggulangan ini
adalah dari pihak polisi lebih meningkatkan penjagaan diposko dan lebih tegas
dalam menindaki pelanggaran lalu lintas tanpa pandang bulu dan berusaha agar
dalam menjalankan tugas lebih maksimal.
10. DAFTAR
PUSTAKA
a. Buku-buku
Achmad, Ruslan. Teori dan Panduan Praktik Pembetukan
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Yogyakarta : Rangka Education,
2011.
Alam. A. S. Pengantar Kriminologi. Makasar : Penerbit
Refleksi, 2010.
Darmawan, M.
Kemal, dan Manik Sri Supatmi. Teori
Pengendalian Sosial. Jakarta, 2011.
Dirjosisworo,
Soejono. Penanggulangan Kejahatan.
Bandung : Alumni, 1983
Gunarsa, Singgih D dan Yulia Singgih D Gunarsa. Psikologi Perkembangan
Anak dan Remaja. Jakarta : BPK Gunung
Mulia, 2010.
Kartono, Kartini.
Pathologi Sosial. Jakarta : CV.
Rajawali, 1998.
Marlina. Peradilan Anak di Indonesia:
Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Bandung : PT Refika Aditama, 2009.
Romli Atmasasmita. Teori dan Kapita
Selekta Kriminologi. Bandung : PT Refika
Aditama, 2005.
Santoso, Topo
dan Eve Achjani Zulva. Kriminologi. Jakarta
: P.T Raja Grafindo, 2010.
Sumitro, Rony
Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan
Jurimetri. Jakarta : Ghalia, 1998.
Waluyo, Bambang.
Penelitian Hukum dalam Praktek.
Jakarta : Sinar Grafika, 2002.
b. Peraturan Perundang-undangan
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang tentang Lalu
lintas dan Angkutan Jalan.
[1] Santoso, Topo dan
Eve Achjani Zulva, Kriminologi, (Jakarta
: PT. Raja Grafindo Jakarta, 2010), halaman 9.
[2]
Ibid.
[3] Alam, A.S., Pengantar Kriminologi, (Makasar :
Penerbit Refleksi, 2010), halaman 3.
[4] Ibid, halaman 1.
[5] Ibid, halaman 2.
[7] http//:www.wikipedia.com/teori/kriminologi, diakses pada tanggal 14
November 2013.
[8] Naning Rondlon, Menggairahkan Kesadaran Hukum Masyarakat dan
Disiplin Penegak Hukum dan Lalu Lintas, (Jakarta : Bina Ilmu, 1983), halaman 19.
[11] Marlina, Peradilan Anak di Indonesia : Pengembangan
Konsep Diversi dan Restorative Justice, (Bandung : Refika
Aditama, 2009),
halaman 39.
[12]http://www.scribd.com/doc/32319031/27/A-Tinjauan-KUHP-Tentang-Kenakalan-Anak-Remaja,
di akses pada tanggal 14 November 2013.
[14]Ronny Hanitijo
Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum,
(Jakarta : Ghalia, 1998), halaman 34.
[16] Romli
Atmasasmita, Teori dan Kapita
Selekta Kriminologi, (PT Refika Aditama : Bandung, 2005), halaman 46.
[20] Achmad
Ruslan, Teori Dan Panduan Praktik
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
di Indonesia, (Rangka
Education : Yogyakarta, 2011),
halaman 71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar